Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinunuk (1)

30 Oktober 2021   04:05 Diperbarui: 31 Oktober 2021   23:50 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika tidak keliru, ini adalah malam keempat kami berdua masih tersesat di belantara gunung Cinunuk. Gunung yang pada mulanya kami anggap sebagai gunung paling indah, bahkan melebihi keindahan gunung yang berada di dada perempuan.

Dari kejauhan, gunung Cinunuk terlihat seperti permata hijau yang berkilauan. Memandang tubuhnya yang montok begitu menyegarkan dan puncaknya yang menyembul dari dekapan awan itu membuat hasrat mendaki kami tidak ketulungan.

Pun ketika Aku dan Daud mendakinya. Sepanjang perjalanan mata kami melulu dihidangkan dengan keindahan. Ada pepohonan rimbun rindang memayungi kiri-kanan.

Ada monyet-monyet riuh berloncat-loncatan, batu-batu besar berlumut yang bisu, dan angin yang halus mengembus membuat kami sangat menikmati langkah setapak demi tapak trek yang ternyata juga mulus.

Namun keindahan itu melenakan kami. Sebab kami terlalu masyuk sepanjang jalan, kami sampai tak menyadari bahwa langkah kami jauh melenceng dari jalur pendakian. Kami baru sadar telah tersesat ketika ada sebuah jurang menganga menghadangi langkah kami.

Setelah itu, berhari-hari kemudian kami berdua terus mencari jalan keluar dari belantara ini. Kami membelah pepohonan, melompati gundukan, bebatuan, menebas semak belukar yang melintang dan sesekali terpeleset hampir jatuh dimakan jurang. Tapi sia-sia.

Semua perjuangan selalu berakhir di titik ini, tempat keberadaan gua kecil dan sebuah pohon besar entah apa namanya ini tumbang tepat di depan mulut gua hampir menutupi akses masuknya.  Ya, empat malam kami lalui ternyata hanya dibuat mondar-mandir saja di sekitar gua ini.


Dan kelelahan lagi-lagi membuat kami terpaksa bermalam di gua kecil yang ngepas untuk ditiduri kami berdua sambil berharap esok pagi jalan keluar bisa kami temui.

Bikin Tenda? Kami terlalu malas habiskan energi kalau sudah ada gua yang minimal bisa menghalau dingin angin gunung atau tempat berteduh jika hujan turun ketika kami sedang tidur.

Malam keempat ini rasa hausku sungguh sudah tidak tertahankan. Lalu dalam benakku tiba-tiba muncul ide. Maka aku berdiri di depan gua, dan segera membuka risleting celana.

Kulihat Wajah Daud yang sedang rebah kelelahan tampak biasa saja mengamati gerak-gerikku.

Daud pasti mengira aku ingin kencing. Tapi dia tidak tahu, sebenarnya yang aku inginkan adalah meminum air kencingku sendiri.
   
    Dan benar. Sesaat aku meneguk habis air kencing yang aku tampung di telapak tangan, seketika raut wajahnya yang biasa saja, berubah kaget.

Dia menatapku dengan tampang menghuek, jijik kali, dia mual tapi tidak sampai muntah.
   
    "Gila, Lu!", Umpatnya dengan gerakan tangan menekan perutnya yang mengempis.

"Kau jauh lebih gila tadi!", Aku menyahutinya dengan agak menahan tawa.
   
    Sepertinya Daud tidak menyadari, ideku meminum kencing ini muncul sedikit lebihnya, karena terinspirasi dari kelakuannya yang sudah memakan pacet-pacet gemuk penyedot darah kakinya sore tadi.
   
    Meski dengan cara dibakar lebih dulu, pacet tetap pacet. Makan pacet berarti makan darahnya sendiri yang bau amis. Tapi ia tetap nekat mengunyah makhluk berlendir menjijikan itu.
   
    Katanya, dia kesal pada pacet-pacet karena sudah semena-mena menghisap darahnya. Semacam ada perasaan tidak rela darahnya yang berharga terbuang sia-sia, maka dimakanlah supaya bisa kembali menjadi energi.
   
    Tapi setelah semua pacet itu tertelan, Daud menyesal. Bukan energi, malah mual muntah yang ia dapat. Aku pun dibuat mual melihat kegilaannya itu.
   
    Lapar dan dahaga yang kami rasakan sepanjang hari sangat menekan tubuh dan pikiran. Sementara logistik pendakian yang kami bawa sudah habis tak tersisa sejak hari kemarin.

Maka sebagaimana Daud, dalam benakku pun muncul semacam rasa tidak rela bila air kencingku terbuang percuma. Itulah sebab aku tega meminumnya.
   
    Dan hey, menurutku rasa air kencing tidak terlalu buruk. Setidaknya, lebih baik ketimbang memakan pacet. Meski agak tercium pesing dan ada rasa asin-asinnya gitu, tapi cukup untuk sejenak menyegarkan kembali mulut dan tenggorokanku yang kering kerontang.
   
    "Gimana rasanya?" Tanya Daud penasaran.

"Mantap!" Jawabku singkat dengan memasang raut wajah bersemangat.
   
    Rupanya raut wajahku berhasil membuat Daud menjadi tergoda. Dia tergoda ingin juga mencoba merasakan kesegaran air kencingnya.
   
    Lalu ia kencing. Airnya mengucur dengan loyo, mendarat di telapak tangan yang ia bentuk menyerupai mangkuk.

Ketika air itu dekat di mulut dan ia hampir meneguk, mendadak ia mual-mual seperti sore tadi. Nampaknya dia masih trauma terbayang saat makan pacet. Akhirnya air kencing itu pun ia tumpahkan.
   
    "Hueek.. Sialan, Lu!", Daud mengumpatku lagi.
     "Heehe, goblok!", tawaku tak bisa tertahan kali ini.

Mendengar aku tertawa, dia yang tadinya kesal, ikutan tertawa. Lalu kamipun tak panjang pikir untuk berlama-lama melepaskan semua tawa.

Tujuannya tak sederhana, supaya rasa nyeri, pegal, perih, dan segala siksa yang bertubi-tubi mendera tubuh bisa sejenak kami lupakan.

Tapi percayalah, tawa yang kata orang bisa menghangatkan tak ubahnya seperti pelukan perempuan, ternyata hanya mitos belaka. Meski sudah banyak tertawa tubuh kami berdua masih saja kedinginan.

Kulihat samar-samar dalam keremangan malam, bibir Daud pecah-pecah terkelupas dan membiru dengan gigi yang sesekali refleks gemeretak tanda ia kedinginan. Dan mungkin bentuk bibirku pun begitu.

"Dul, aku butuh kehangatan"
"Aku pun butuh itu"
"Mari kita nyalakan api," katanya seolah-olah sedang berpuisi, "Untuk menghangatkan tubuh yang sepi ini."

Lalu aku inisiatif mengumpulkan reranting yang berserakan, menumpuknya di atas kayu-kayu sisa api yang kami buat kemarin malam.

Kemudian dengan penuh kebiasaan, Daud mulai membuat api tanpa merasa kesulitan meski pentol korek yang ia pakai agak-agak basah karena terpaan angin yang membawa embun malam.

Api berkobar. Menyibak selaput gelap yang menutupi pohon-pohon yang tinggi menjulang. Dengung dan tusukan nyamuk-nyamuk sedikit berkurang. Dan Perlahan kehangatan menjalar ke sekujur badan dinginku.

Di sampingku, Daud kulihat sedang mendekap erat tas carrier dengan mata yang terpejam. Ia pasti sedang membayangkan seolah sumber kehangatan ini adalah dari pelukan perempuan yang bertahun-tahun tidak ia rasakan.

"Jomblo menahun bisa sampai segitunya" aku mengejeknya, "Itu tas oi, bukan perempuan."

"Berisik!," Tukasnya lalu melemparkan tas itu kearahku, "Nih! bilang aja kalo lu mau berkhayal juga, mblo!".

"Haahahahaha"

Di tengah malam yang bersuara bening, tawa kami berdua kembali pecah. Entah kami menertawakan nasib jomblo kami atau mungkin tertawa sebab kebodohan kami sampai empat malam tersesat, berputar-putar mengitari gua seperti thawaf.

Kemudian mendadak tubuhku merinding, tentu bukan karena dingin. Ini merinding yang lain. Sejenak kami berdua terdiam saling berpandangan. 

Ada suara tawa yang berbeda tiba-tiba terdengar masuk ke telinga dari arah atas, dari arah pohonan samping kiri kami.

"Hhikihkikikhi". begitu suara yang aku dengar. Seperti suara Kakek yang sedang Cekikik-kikikan sampai mau terbatuk-batuk.

Makin kami diam suara tawa itu makin jelas terdengar. Berpindah-pindah ke segala arah. Dan ketika suara cekikikan itu dekat sekali terasa seperti sedang membisiki telinga, kami berdua saling berpandangan.

Kulihat Wajah Daud sudah belepotan bercampur antara heran dan ketakutan. Mungkin raut wajahku pun nampak begitu.

"Wah, kicau burungnya unik ya, Dul" celetuk David tak aku duga sebelumnya, "Burung langka, nih!".

Benar juga kata dia. Itu mungkin sebernarnya hanya suara burung malam biasa. Kelelahan hebat yang kami alami lah yang membuat otak kami tak berfungsi normal sehingga salah menerjemahkan sinyal suara burung menjadi menyerupai cekikikan kakek-kakek.

"Kicau burung apa ya kira-kira, Ud?" Tanyaku menuruti alur pikir yang sudah dia buat.

"Burung Kakek Tua! Hahaha!"

"Hahaha bisa aja, lu!"

(Bersambung....?)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun