"Dul, aku butuh kehangatan"
"Aku pun butuh itu"
"Mari kita nyalakan api," katanya seolah-olah sedang berpuisi, "Untuk menghangatkan tubuh yang sepi ini."
Lalu aku inisiatif mengumpulkan reranting yang berserakan, menumpuknya di atas kayu-kayu sisa api yang kami buat kemarin malam.
Kemudian dengan penuh kebiasaan, Daud mulai membuat api tanpa merasa kesulitan meski pentol korek yang ia pakai agak-agak basah karena terpaan angin yang membawa embun malam.
Api berkobar. Menyibak selaput gelap yang menutupi pohon-pohon yang tinggi menjulang. Dengung dan tusukan nyamuk-nyamuk sedikit berkurang. Dan Perlahan kehangatan menjalar ke sekujur badan dinginku.
Di sampingku, Daud kulihat sedang mendekap erat tas carrier dengan mata yang terpejam. Ia pasti sedang membayangkan seolah sumber kehangatan ini adalah dari pelukan perempuan yang bertahun-tahun tidak ia rasakan.
"Jomblo menahun bisa sampai segitunya" aku mengejeknya, "Itu tas oi, bukan perempuan."
"Berisik!," Tukasnya lalu melemparkan tas itu kearahku, "Nih! bilang aja kalo lu mau berkhayal juga, mblo!".
"Haahahahaha"
Di tengah malam yang bersuara bening, tawa kami berdua kembali pecah. Entah kami menertawakan nasib jomblo kami atau mungkin tertawa sebab kebodohan kami sampai empat malam tersesat, berputar-putar mengitari gua seperti thawaf.
Kemudian mendadak tubuhku merinding, tentu bukan karena dingin. Ini merinding yang lain. Sejenak kami berdua terdiam saling berpandangan.Â
Ada suara tawa yang berbeda tiba-tiba terdengar masuk ke telinga dari arah atas, dari arah pohonan samping kiri kami.