Pertanyaan Nissa mengejutkanku sedangkan aku sudah bersiap untuk turun dari kereta.
"Apa ? Bertanyalah," sahutku pelan.
"Apakah kamu tak berkeinginan untuk mewujudkan toleransi yang ada di kampungmu ? Maksudku, apakah kita boleh mewujudkan bersama-sama bahwa perbedaan keyakinan bukan saja bisa hidup berdampingan sebagai tetangga tapi bisa hidup berdampingan dan memenuhi cinta dalam satu atap ?"
Aku tertunduk kaget. Wajahku memerah. Aku tak menjawab pertanyaan Nissa. Aku berpaling lalu melangkah keluar dari kereta tanpa menghiraukan dirinya lagi.
"Jika Tuhanku dan Tuhanmu mengizinkan, maka percayalah pada hatimu. Tunggu aku," gumamku dalam hati.
Aku terus berjalan meninggalkan Nissa yang masih berada di dalam kereta dan menemui adikku yang sudah menungguku. Aku mungkin terlihat begitu kejam meninggalkannya sendirian. Tapi yang aku inginkan saat ini ialah segera pulang dan menyeruput segelas kopi hitam, barangkali pekat dan pahitnya mampu mengusir segala kenangan pahit yang sepanjang perjalanan berusaha menghantuiku kembali. ***