Bagiku, itu semua hanya kalimat basi yang tak ingin kudengar lagi dari mulut seorang perempuan, meskipun ibuku sekalipun yang mengatakan itu.
"Jangan tanyakan kenapa tapi tanyakan kapan aku akan menikah maka aku akan menjawab tidak akan," jawabku pelan dengan nada berbisik.
Aku melihat jelas wajah yang memerah pada wajahnya. Tentunya ia kebingungan. Tapi syukurlah, dia mengerti dan tidak lagi bertanya.Â
Mungkin saja ia dapat menduga aku pernah mengalami luka hati yang teramat dalam. Atau mungkin saja ia berpikir bagaimana caranya meluluhkan hatiku?
Nissa masih diam. Ia memandangi arlojinya lalu berdiri dan mengeluarkan jaket dari dalam tasnya.
"Bolehkah bahumu kupinjam ? Sebentar saja. Aku ingin menyenderkan kepalaku sejenak."
Aku membisu tak mengatakan apa-apa. Jantungku berdegup kencang ketika Nissa dengan segera menyenderkan kepalanya di bahuku sedangkan aku belum mengiyakannya.Â
Nissa mungkin tahu aku ketakutan sehingga ia mengatakan sekali lagi dengan mata terpejam "sebentar saja, tidak lama."
Aku tak mampu berbuat apa-apa lagi selain diam dan membiarkan Nissa menyenderkan kepalanya di bahuku. Aku melihat arlojiku. Waktu sudah menunjukkan jam 10.37 WIB dan aku tak tahu kereta kami sudah sampai di belahan bumi mana. Jantungku berdegup dengan sangat kencangnya. Nissa mungkin ikut merasakan itu.
Sejenak aku mengingat kembali kenangan pahit yang dulu pernah kualami. Bahuku adalah alas kepala paling empuk milik Aulia. Aulia selalu menggunakan bahuku sebagai alas kepalanya ketika ia sedang mengantuk atau pun ketika ia hanya ingin aku memanjakan dirinya.
Aku memejamkan mataku -- berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan kenangan pahit itu dalam ingatanku. Dan ternyata aku mampu melakukannya -- aku tak mengingat lagi Aulia -- karena aku pun akhirnya tertidur pulas.Â