Aku tampak gugup. Perempuan berjilbab di sampingku sungguh bukan perempuan pemalu. Suaraku pun terdengar gemetar. Tapi ia terlihat sangat tenang, menatapku dengan serius; menunggu aku menyebutkan namaku.
"Aku Daniel. Daniel Kopong."
Dengan nada setengah gugup aku menyebutkan namaku. Selama ini aku sibuk dengan misi kemanusiaan yang ditugaskan negara padaku sehingga aku hampir lupa cara berkenalan dengan perempuan -- terakhir aku melakukannya ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku disini, Â di kota penuh kenangan ini.
Bagi kebanyakan orang, kota ini merupakan kota pendidikan tapi bagiku kota ini ialah "kota terpahit". Bila saja bukan untuk menghadiri acara wisuda keponakanku, aku tak akan mau untuk datang kembali ke kota ini.
Jogjakarta -- kota terpahit bagiku tapi mungkin tidak baginya -- adalah kota yang pertama kali mengajari aku tentang cinta tetapi juga mengajariku bagaimana caranya untuk masa bodoh dengan cinta. Sejak saat itu, masa bodoh adalah sebuah seni bagiku.
Aku lalu memutuskan untuk menjadi seorang anggota TNI -- pikirku waktu itu aku akan lebih banyak berkelana di hutan, berperang dengan para teroris yang ingin menghancurkan negeri ini -- sehingga tidak lagi memikirkan cinta, perempuan dan juga Jogjakarta.Â
Bagaimana tidak ? Perbedaan keyakinan menjadi penghalang bagiku untuk bisa bersatu dengan Aulia, perempuan berdagu tirus, sedang orangtuaku kala itu sudah merestuiku asalkan aku tetap mempertahankan keyakinanku.
Bagi orangtuaku, perbedaan agama tidak menjadi persoalan, toh di kampungku kedua keyakinan ini -- orang-orang yang mengimaninya masih menjaga toleransi dan hidup rukun -- yang terpenting ialah aku dan Aulia bisa saling mencintai dan tetap teguh berpegang pada keyakinan masing-masing.
Aku selalu berdoa agar di seluruh dunia, keyakinan tidak menjadi penghalang bagi lelaki dan perempuan yang saling mencintai.
Â
"Dari Jogja ?" Nisaa bertanya lagi.Â
Aku menarik napas panjang lalu menghembusnya pelan sebelum menjawabnya. Nama kota itu -- ah, aku tak ingin mengenangnya lagi.
"Ya, aku dari Jogja tapi bukan orang Jogja. Aku hanya menghadiri wisuda salah satu keponakanku yang berkuliah disini," jawabku seadanya.
"Lalu kamu ? Berlibur, atau orang asli Jogja ?"Â