Tapi belum tentu aku. Bisa saja orang lain. Bisa saja yang seiman, atau juga beda keyakinan. Yang pasti bukan aku. Gumamku dalam hati.
"Kamu sudah menikah ?"Â
Aku memalingkan wajahku ke arah Nissa. Kaget. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Sudah sejak lama aku berusaha menghindar dari pertanyaan ini.Â
Aku sudah lama memutuskan untuk masa bodoh tentang cinta dan tentang perempuan. Kenangan pahit yang aku alami kala itu sungguh membuatku takut untuk jatuh cinta lagi.
"Haruskah aku menjawabnya ?"
Nissa membisu menatapku. Ia masih tenang.
"Kamu tentu dapat melihatnya apakah pada kedua jari manisku ada cincin atau tidak,"Â lanjutku sambil menunjukkan kedua jari manisku padanya.Â
Ia hanya tersenyum. Aku lagi-lagi dibuat bingung olehnya. Apa maksud dari senyumnya itu ? Apakah di dalam hatinya ia merasakan sebuah kebahagiaan ketika tahu kami sama-sama belum menikah ?
"Kenapa kamu belum menikah ?"
Kali ini aku terpaku menatapnya. Kedua bola mataku tak bergerak. Aku menatapnya tajam. Darahku serasa berhenti mengalir.Â
Apa maunya ? Apa yang ia inginkan ? Akankah aku harus menceritakan lagi kenangan pahitku itu ? Jika aku menceritakannya, apakah ia akan mengatakan bahwa tidak semua perempuan sama seperti perempuan di masa laluku ?Â