Entah apa yang menyebabkan kami lebih tertarik membicarakan keyakinan kami daripada bertanya mengenai pendapat masing-masing tentang Jogja, tetapi aku sedikit lega. Setidaknya masih ada orang yang mau menghargai perbedaan keyakinan.
"Indonesia itu indah. Indah karena keberagaman budaya. Kalau kita tidak bisa menerima keberagaman kita masing-masing, sebaiknya jangan pernah mengakui bahwa kita orang Indonesia dan mencintai Indonesia."
Nissa hanya mengangguk. Ia menawarkanku sebotol minuman air mineral. Aku menerimanya dan meminumnya.Â
Seketika kami terlihat seperti dua sahabat yang sudah berkenalan sejak lama, berada dalam kereta yang sama dan tujuan kami pun sama. Kami bersama-sama akan menuju ke Jakarta.
"Di Jakarta, kamu tinggal dimana ?" aku semakin berani bertanya karena Nissa memang teman ngobrol yang baik.
"Aku di Jakarta Pusat, tepatnya di daerah Cempaka Putih," Nissa menjawab hemat sesuai pertanyaanku.
"Sudah berkeluarga ?" Maksudku ialah ketika ia menjawab ia sudah berkeluarga maka akan lebih menjaga sikapku saat berbicara padanya.
"Belum," jawab Nissa tenang. Ia tampak biasa saja dengan pertanyaanku.
"Aku ingin menikah dengan orang Flores."
Jawaban ini membuatku kaget. Sungguh kaget. Apakah ia mulai jatuh cinta padaku ? Atau mungkin karena ia menyukai Flores ? Atau, ia hanya bercanda ? Aku sudah mulai berpikiran sombong. Percaya diriku mulai berlebihan.
"Aku ingin merasakan langsung seperti apa kehidupan orang-orang di sana, di Flores," lanjut Nissa lagi.
Kebingunganku akhirnya terjawab. Rupanya Nissa bersungguh-sungguh ingin menemukan pendamping hidup orang Flores.Â