Ketidakpastian ekonomi, ditambah beban sosial untuk terlihat sukses, menciptakan tekanan berlapis yang bisa menyebabkan burnout lebih cepat.
Kurangnya Ruang Aman untuk Curhat
Di tengah kehidupan yang serba cepat, ruang untuk membicarakan emosi dan tekanan batin sering kali minim. Banyak anak muda tumbuh dengan pola pikir bahwa menunjukkan kelemahan adalah tanda kegagalan.
Akibatnya, mereka belajar menyimpan semuanya sendiri berpura-pura kuat, tetap tersenyum, padahal di dalamnya sedang penuh sesak. Lingkungan sekitar pun sering tidak mendukung.
Ketika seseorang mulai bercerita soal stres atau kecemasan, respons yang muncul kadang justru meremehkan: “Ah, kamu kurang bersyukur,” atau “Masih mending kamu, aku lebih parah.”
Ini membuat banyak orang akhirnya memilih diam. Mereka takut dianggap lemah, manja, atau tidak tahan banting. Padahal yang dibutuhkan bukan solusi instan, melainkan pendengar yang tulus.
Sementara itu, kesadaran soal pentingnya kesehatan mental memang sudah mulai tumbuh, tapi akses untuk mendapat bantuan profesional masih belum merata.
Budaya Hustle yang Menjebak
Kita hidup dalam budaya yang mengagungkan “sibuk.” Makin sibuk seseorang, makin dianggap sukses. Seolah-olah jadwal yang padat, lembur tanpa henti, dan tidak punya waktu luang adalah lambang dari dedikasi dan pencapaian.
Ungkapan seperti “Gue tidur cuma 3 jam semalem” atau “Weekend pun tetap kerja” bukan lagi keluhan, tapi semacam lencana kehormatan.
Budaya ini diam-diam membentuk cara berpikir kita. Saat sedang tidak produktif, muncul rasa bersalah. Saat istirahat, muncul rasa takut tertinggal.