Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyikapi Absurditas Media Sosial dengan Etika "Kucing"

17 Desember 2021   08:32 Diperbarui: 19 Desember 2021   09:17 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Etika "kucing" adalah apa yang kita harapkan akan terjadi di media sosial | Ilustrasi oleh Erik Lucatero via Pixabay

Seorang ahli fisika asal Jerman, Werner Heisenberg, tiba pada suatu kesimpulan yang aneh bahwa hubungan manusia dengan teknologi dapat diibaratkan seperti hubungan laba-laba dan jaringnya: keduanya tidak dapat lagi dipisahkan.

Kini manusia benar-benar terjebak dalam putaran tersebut di mana teknologi sudah menjadi kesehariannya. Diperparah dengan datangnya pandemi Covid-19, dunia maya seolah menjadi "lebih nyata" daripada dunia nyata itu sendiri.

Segala sesuatunya seolah sudah tersedia di ujung jari kita. Tetapi anehnya, keterhubungan kita satu sama lain menjadi lebih semu daripada yang pernah terjadi sepanjang peradaban manusia.

Sebuah studi yang melibatkan lebih dari 20.000 orang Amerika mengungkapkan bahwa "epidemi kesepian" telah terjadi semenjak media sosial mencapai kejayaannya.

Ini adalah sesuatu yang sangat absurd mengingat media sosial semestinya menjadi sarana praktis bagi manusia untuk saling terhubung dengan sesamanya.

Itulah mengapa saya menyebutnya Paradoks Kesepian: semakin meningkat keterhubungan kita lewat media sosial, semakin meningkat pula rasa kesepian mendera kita. 

Ada korelasi positif antara frekuensi penggunaan media sosial yang berlebihan dengan peningkatan rasa kesepian.

Meskipun melek teknologi sudah menjadi ciri khas dari generasi milenial, akan tetapi apa yang sesungguhnya terjadi tidak menguntungkan. Media sosial bukan sekadar menjadi penanda dari puncak globalisasi, tetapi juga sebagai sinyal dari datangnya era post-truth.

Inilah era di mana pendapat publik tidak lagi dibentuk oleh fakta dan logika, melainkan oleh sentimen dan kepercayaan. Pergerakan emosi yang tidak mudah ditebak dari generasi milenial menjadi titik utama dari berkembangnya era post-truth.

Jadi apabila kita membutuhkan pahlawan (lagi) untuk menyelamatkan bangsa ini, kepahlawanan di media sosial adalah sesuatu yang sangat kita rindukan.

Pahlawan kekinian bukanlah orang yang menerima wangsit tertentu atau unjuk retorika di tengah simposium. Pahlawan yang kita butuhkan sekarang ini adalah mereka yang tetap melibatkan diri dalam absurditas media sosial dan "melampauinya".

Mereka tidak lantas pergi dan meninggalkan sesamanya yang terjebak dalam kegelapan. Mereka memasuki kegelapan itu dengan penuh kesadaran seraya menguraikan makna yang mendalam, sebab hanya dengan demikianlah mereka memiliki arete (keutamaan).

Bagi Plato, arete pertama-tama merujuk pada ciri khas yang berkaitan dengan fungsi optimal suatu hal. Ketika seseorang atau suatu hal memiliki arete, maka pada dirinya, dia mewujud secara optimal dalam karakter khasnya.

Seekor kuda disebut memiliki arte manakala dia bisa berlari dengan cepat. Sebuah telinga memenuhi arete-nya ketika dia berfungsi dengan baik, yaitu bisa mendengar.

Arete seorang hakim adalah ketika dia mampu memilah dan memutuskan secara adil tentang mana yang benar antara argumentasi penuduh atau yang tertuduh.

Arete atau keutamaan di media sosial dapat saya gambarkan dalam sebuah konsepsi yang saya sebut etika "kucing". Karenanya, mari kita lanjutkan dengan membandingkan antara anjing dan kucing.

Anjing itu tidak datang ke manusia purba memohon untuk tinggal bersama kita; kitalah yang menjinakkan mereka. Mereka dibesarkan untuk menjadi sosok yang penurut. Mereka mengikuti banyak pelatihan dan karenanya mudah diprediksi.

Mereka bekerja untuk kita, contohnya di kepolisian, kita bisa menemukan anjing-anjing pengendus jejak yang ganas, atau anjing penjaga rumah yang akan menggonggong keras ketika mantan Anda datang ke rumah. Intinya, anjing itu begitu setia dan bisa diandalkan.

Kucing itu berbeda. Kucing datang dan hanya sebagian yang menjinakkan diri mereka sendiri. Mereka nyaris tidak bisa diprediksi.

Konten populer tentang anjing cenderung memamerkan betapa penurutnya mereka, sedangkan konten populer tentang kucing adalah konten yang menangkap perilaku mengejutkan mereka.

Kucing itu pintar, tetapi bukan pilihan yang tepat jika kita menginginkan hewan yang penurut dan bisa dilatih dengan andal.

Dalam sirkus kucing online, mereka jelas memutuskan sendiri apakah mereka akan melakukan trik yang sudah diajarkan, atau tidak melakukan apa-apa dengan begitu dinginnya berjalan ke kerumunan penonton.

Mereka sadar akan kebebasannya sebagai makhluk hidup dan tidak mau diperlakukan sewenang-wenang oleh majikannya. Bahkan kerap kali mereka bersikap seakan-akan merekalah majikannya, dan majikannya adalah pembantunya.

Etika "kucing" dalam media sosial dimulai dari semua konsepsi itu. Dengan kata lain, etika ini merupakan harapan dan impian kita semua untuk masa depan yang lebih baik di internet.

Sementara kita mencintai anjing, kita tidak ingin menjadi "anjing" dalam hal hubungan kita sendiri dengan media sosial. Selama ini, disadari ataupun tidak, media sosial telah menjinakkan kita seolah-olah kita adalah anjing mereka.

Kebanyakan dari kita begitu tergoda dengan kemewahan berbagai barang dalam sekumpulan iklan di layar beranda. Kita cepat-cepat menyebarkan berita menghebohkan tanpa pernah memvalidasi kebenarannya.

Kita begitu suka untuk mengomentari sesuatu yang sesungguhnya tidak kita pahami. Sekali lagi, itulah absurditas media sosial dan etika "kucing" benar-benar diperlukan.

Bersikap seolah menjadi "kucing" di media sosial berarti melepaskan segala perangkap yang selama ini banyak menjerat kita.

Etika semacam ini merupakan revolusi mental dalam kaitannya dengan media sosial, merekonstruksi segala paradigma kita terhadapnya dan bertindak proaktif ketika berhadapan dengan kebatilan.

Apa yang begitu kontras di sini adalah bahwa media sosial sama sekali bukan milik kita, dan karenanya berada di luar kendali kita. Kendati demikian, kita tetap dapat memperlakukannya seolah kita adalah "majikannya".

Kucing tidak memiliki manusia, tetapi manusialah yang memiliki kucing. Tetapi dalam prosesnya, kucing itu sendiri sering menjadi "majikan" bagi majikannya. Itulah alegori yang kiranya tepat untuk menggambarkan maksud etika "kucing".

Masalah terbesar dari generasi milenial sekarang ini adalah mereka menerima sistem yang sudah ada dengan beranggapan bahwa media sosial itu tidak terhindarkan, dan karenanya kita mesti menerima semua "kutukannya" tanpa intervensi.

Generasi kita tampaknya begitu takut melawan kemapanan dan lebih memilih untuk merasionalisasi keadaan status-quo sebagai kondisi yang sah. Asumsinya: jika dunia sudah seharusnya seperti ini, maka kita tidak perlu kecewa terhadapnya.

Namun, kepasrahan ini juga melenyapkan kemarahan moral dari kita untuk melawan ketidakadilan dan hasrat kreatif demi memikirkan cara-cara alternatif yang lebih mengagumkan.

Barangkali kita dapat menerima ungkapan umum yang menganggap kehadiran media sosial sebagai keniscayaan globalisasi. 

Meskipun kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di sana, bagaimanapun juga, kita tetap dapat mengendalikan cara kita dalam menyikapinya.

Etika "kucing" merupakan cara yang tepat untuk menyikapi absurditas media sosial. Etika ini tidak mendorong kita untuk mematuhi aturan pada permainan yang sudah ada (seperti anjing), namun justru membantu kita untuk membuat aturan bagi diri kita sendiri.

Dengan menjadi bebas dari cekikan algoritme, kita dapat berpikir orisinal dan menunjukkan kesejatian masing-masing. Kita tidak lagi memerlukan persetujuan (lewat tombol like atau love) dari orang lain untuk memvalidasi siapa kita, tetapi kita sendirilah yang menentukan siapa kita.

Seperti kata William Deresiewicz, "Terkungkung oleh aturan membuat siapa pun menjadi seperti domba-domba terbaik di dunia."

Etika "kucing" adalah apa yang dibutuhkan generasi milenial dalam mengelola tingkah lakunya di media sosial. Dalam laporan terkemuka yang diungkapkan oleh Microsoft, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanan di dunia maya.

Etika "kucing" merasuk ke dalam diri seseorang dengan prinsip kebebasannya, dan memilih kebijaksanaan daripada membuktikan kepada dunia tentang betapa hebatnya dia.

Lihatlah bagaimana kucing yang lebih banyak dimanjakan oleh majikannya dibandingkan anjing yang lebih banyak memanjakan diri kepada majikannya.

Dalam konteks ini, etika "kucing" berarti membiarkan media sosial untuk melayani kita dan bukannya mengorbankan diri sendiri untuk melayani layar beranda. 

Meskipun saya istilahkan dengan etika "kucing", tetapi dalam prinsipnya sangat mengutamakan nilai-nilai yang manusiawi.

Kita seolah diberi pilihan apakah kita ingin menjadikan media sosial sebagai mesin, atau merekalah yang menjadikan kita seperti robot. Kita bebas memilih respons kita terhadap situasi apa pun, tetapi dalam melakukannya, kita juga turut mengambil konsekuensi yang menyertainya.

"Ketika kita mengangkat satu ujung tongkat, maka kita pun turut mengangkat ujung yang lain". Jelaslah ada saat-saat dalam hidup kita di mana belakangan kita tersadar bahwa kita mengangkat tongkat yang salah.

Pilihan kita membawa konsekuensi yang sebenarnya begitu enggan kita alami. Tetapi ketika semuanya terlanjur terjadi dan mengacaukan segalanya, dunia tidak boleh berakhir seperti itu. Kita dapat memperbaikinya sekarang juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun