Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Telaah Banalitas Korupsi dari Kedalaman Manusia

8 Desember 2021   11:34 Diperbarui: 10 Desember 2021   16:16 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Petugas KPK menunjukkan barang bukti yang diperoleh dari operasi tangkap tangan (OTT), Jakarta, Jumat (1/4/2016).(TRIBUNNEWS / HERUDIN)

Para koruptor sering beraksi dengan cara yang halus hingga membuat publik (nyaris) tidak menyadarinya. Mereka tampak tidak menyalahi segala hukum formal karena semua itu seolah memang dirancang untuk membenarkan tindakannya.

Meskipun dua tahun belakangan merupakan masa yang sulit, tindakan korupsi sama sekali tidak surut. Justru, keputusasaan dalam masa krisis dimanfaatkan untuk menghipnotis rakyat dengan sekelumit kisah heroik.

Mereka datang memberi paket bantuan bagaikan malaikat pelipur lara, tetapi pihak yang menerima kiranya tidak pernah tahu bahwa hak pribadinya telah dipangkas sepuluh ribu rupiah. Tampaknya Robin Hood dalam wujudnya yang lain telah muncul dengan mengejutkan.

Tindakan korupsi dianggap sebagai keputusan yang wajar mengingat betapa besarnya "biaya kampanye", dan semua kengerian tentangnya hampir dicabut oleh dogma yang semena-mena. Ironisnya, kejahatan korupsi tidak lagi menakutkan untuk dilakukan.

Korupsi menjadi sebentuk hegemoni yang dilihat sebagai sesuatu yang biasa, dan malahan dianggap wajar serta bernilai baik. Inilah yang kemudian disebut dengan banalitas kejahatan oleh Hannah Arendt.

Pada tahun 1961, Arendt melaporkan untuk The New Yorker tentang pengadilan kejahatan perang yang dilakukan Adolph Eichmann, seorang operator Nazi yang bertanggung jawab untuk mengatur pengangkutan jutaan orang Yahudi ke berbagai kamp konsentrasi.

Dalam laporannya, Arendt menganggap Eichmann sebagai seorang birokrat biasa, agak hambar, serta kata-katanya selalu berulang yang tidak terkesan sesat atau sadis dan justru terkesan begitu normal.

Eichmann bertindak tanpa motif apa pun selain mematuhi perintah otoritas dan memajukan kariernya di partai Nazi. Menurut Arendt, dia melakukan perbuatan jahat tanpa niat jahat; sebuah kesimpulan yang aneh mengingat kenyataan tindakan jahatnya yang begitu bengis.

Kasus Eichmann mengingatkan saya pada tokoh utama dalam novel Albert Camus, The Stranger (terj. Orang Asing), yang secara acak dan hampir tanpa kesadaran membunuh seorang pria di tepi pantai, tetapi kemudian setelah itu merasa tidak menyesal.

Tidak ada niat khusus atau motif jahat yang jelas: tragedi itu "terjadi" begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun