Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Denting Nada Cinta Pujangga

16 Januari 2022   20:04 Diperbarui: 16 Januari 2022   20:10 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/denting/photo/pixabay

Layar perlahan terbuka, menampilkan sosok laki-laki meliuk dengan gerakan patah-patah nan memukau di atas panggung, geraknya lincah, lepas, tanpa beban menuntaskan  alur cerita  yang dibawakan lewat pantomim. 

Tepuk tangan dan riuh pujian pun  tersemat di akhir penampilannya.Mendadak aku jatuh cinta, meski aku tak tahu apa yang membuatnya menarik, tapi penampilan laki-laki berambut gondrong itu telah menyita seluruh penjuru pikirku.

Meski sebagian orang melontar cemooh pada penampilannya yang terkesan absurd, aneh, dan entahlah ... aku tak bisa menggambarkan, tapi yang pasti senyum di balik bibir tipisnya telah membuat jantungku tak mau patuh pada ritmenya saat berdekatan dengannya.

Namun, aku pernah beberapa kali memergoki, dibalik panggung setelah melepas atribut pentasnya, laki-laki beralis tebal itu menyepi sendiri.

Malam itu, pementasan berakhir gemilang. Sebuah teatrikal  Hamlet,  cerita klasik yang telah banyak pengulangan, tapi kali ini paduan drama, tari, dan pantomim yang dikemas dalam alun orkestra membuat kisah dua anak manusia itu memikat banyak mata. Denting nada cinta mengalun syahdu, menghanyutkan angan setiap insan yang  sedang dilanda asmara.

Setelah pagelaran usai, lagi-lagi dibalik panggung kutemukan dia tengah menyendiri.  

"Hai," sapaku memberanikan diri. Laki-laki itu mendongak.

'Pementasanmu bagus, selamat, ya." Aku menebar ujar,  "Boleh aku duduk?"

Laki-laki itu menggeser pantatnya, memberi tempat agar aku bisa duduk.

"Namaku Nada," ucapku mengulurkan tangan.  "Kamu Pujangga, kan?"  Laki-laki dengan mata bermanik hitam itu tersenyum tipis, bibirnya membentuk garis sejajar, membuatku berusaha keras menyembunyikan debar.  

"Selamat, ya, kamu hebat!" pujiku. Laki-laki itu tersenyum menyipitkan mata.

"Aku menyukai setiap pementasanmu," sambungku. "Menurutku setiap karyamu memiliki ciri yang unik dan khas."

"Terima kasih. Aku menulis sendiri cerita dalam setiap pementasan." Laki-laki bernama Pujangga itu akhirnya mau bicara.

"Sayangnya tak semua orang memahami cerita dari tulisan yang kubuat."

'Aku penulis," ungkapku.

"Tulisan itu ungkapan yang bertumpu pada kebebasan berimajinasi. Bebas, liar, aneh, kadang sedikit gila,  sesuka hati, bahkan bahasa yang dipakai pun sering hanya bisa dipahami oleh si pembuat tulisan,"

"Kamu benar, seperti juga hasil sebuah teatrikal,  seringkali orang tak bisa menerjemahkan apa yang tersaji dalam setiap adegan," ujar Jangga, tangannya mengambil sebatang rokok, menyalakan dan mengisapnya dalam-dalam.

"Itulah yang membedakan orang awam dengan kita. Tak semua pikiran yang kita ungkapkan bisa dimengerti orang lain."

"Aku menyukai kebebasan berekspresi, tapi tetap dalam jalur yang tidak melanggar etika dan norma. Menurutmu, apa aku salah?"

"Sama sekali tidak," tegasku. "Karyamu bagus, tidak bertentangan dengan norma, juga tidak melanggar etika. Hanya saja tidak semua orang bisa mengerti alur cerita yang kamu tulis."

"Apa pendapatmu tentang diriku ketika pertama melihatku?" Jangga bertanya, kali ini mimiknya serius menatap mataku.

"Aku suka kamu, meski menurut orang kamu laki-laki aneh, tapi aku melihatmu sebagai laki-laki yang mungkin sedang butuh teman bicara. Karena tak semua orang paham dengan apa yang ada dalam pikiran orang-orang seperti kita," jawabku.

"Syukurlah, masih ada yang mengerti diriku." Laki-laki berwajah oval itu  tersenyum lega ketika aku sependapat.

"Aku  melihatmu sebagai perempuan cantik, dan cerdas, tapi  sekaligus unik," ungkapnya jujur. Aku tertawa.

"Untuk ukuran anak SMA kamu lebih dewasa dari  usiamu."

"Kamu?" Aku membulatkan mata, menatap heran.

"Darimana kamu tahu aku masih SMA?" Rasa malu menjalar, pasti saat ini pipiku merona.

"Aku pernah melihatmu tampil membacakan puisi di acara pementasan seni Pelajar SMA sekotamadya."

"Ishhh, jadi selama ini kamu diam-diam jadi pengagum rahasia?" ujarku, menampakkan muka cemberut untuk menutupi hatiku yang berbunga-bunga,  artinya dia pun menyukaiku.

"Kebetulan aja," tepisnya dengan muka merah, aku tahu dia berbohong saat matanya tak lepas menatapku.

"Puisi itu karyamu?"

"Huum, aku lebih suka membaca karyaku sendiri, kecuali karya penyair terkenal," tandasku.

"Hebat, karyamu lumayan bagus untuk ukuran seorang anak SMA." Laki-laki itu menganggukan kepala. Aku mencebik mendengar dia berkali-kali menyebutku anak SMA. Jangga tertawa, berhasil mengulik hingga membuatku sebal.

"Oya, kalau nggak keberatan kapan-kapan kolab, yuk!" Jangga menawarkan. "Aku mendapat tawaran untuk mengisi Teater Remaja di sebuah media. Sepertinya tulisanmu cukup menarik untuk diangkat menjadi drama."

"Mau ... mau," jawabku antusias. Tentu saja aku girang, kapan lagi bisa mengenalnya lebih jauh, meski nantinya banyak cemooh yang singgahnya. Kalau teman-teman seusiaku sibuk mencari perhatian pada ketua Osis, pemain Basket, atau pejuang karya tulis ilmiah, hatiku justru tertambat pada Pujangga, mahasiswa seni teater, yang penampilannya nyentrik dengan rambut ikal sebahu dan selalu dikuncir ekor kuda. Ahhh, masa bodoh!  Aku Nada ... penulis yang lahir dari rahim seorang pemain lenong, bagiku dunia penulis seperti juga dunia pemain panggung, penuh  sandiwara ... dan hanya kita yang tahu peran yang sedang kita mainkan.

*

Siang begitu terik membakar, aku melangkah keluar halaman sekolah ketika seseorang menepuk bahuku.

"Jangga," pekikku kaget, "Darimana kamu tahu sekolahku?" Laki-laki berlesung pipi itu tertawa lebar.

"Sudah kubilang aku pernah liat pementasan puisimu," ujarnya dengan tawa makin lebar.

"Hmmm, iya, sih! Trus Kamu ngapain ke sekolahku?" Aku masih penasaran, debar di dada kembali berdentum-dentum.

"Kebetulan aku lewat dekat sini, siang ini ada pementasan teater di Balai Kota. Mau ikut?" Jangga memutar-mutar bola matanya kocak.

"Eh, mau, dong!" jawabku cepat.

"Yuk!" Dia berjalan mendahului, menuju tempat Ninjanya di parkir. Sejurus kemudian, Ninja hijau metalik telah membelah larik-larik jalan yang dipadati kemacetan.

Ternyata Jangga tak hanya lincah di panggung, dia pun lincah meliuk di antara celah sempit kendaraan yang merayap dalam kepadatan lalu lintas. Sesekali aku terkejut, hingga reflek mencengkeram pinggangnya kala mesin beroda dua itu melewati jalanan bergelombang.  Jangga seperti tak menyiakan kesempatan, tangannya mendekapkan tanganku di perut datarnya, jantungku makin tak karuan, desiran-desiran halus tak mampu lagi kusembunyikan, dan jangan ditanya perasaanku, seperti melambung di awan ....

Sore itu setiba di rumah, aku mendapati seikat anyelir di depan pintu masuk. Aku menyapu pandangn ke sekeliling, mencari tahu siapa empunya bunga beraroma lembut itu Sebuah amplob merah muda terselip.

Gemetar dan berdebar perlahan kubuka, jemariku menyusur ke bawah mencari sebuah nama yang kuyakin sipemilik benda misterius.

Terbaca sebuah nama, yang membuatku memekik girang. Seketika jantungku bertalu seperti kendang yang ditabuh serampangan. Kudekap dan kucium berulang, meski belum tahu isinya, tapi benda segiempat beraroma anyelir itu telah membuatku melayang.

Terima kasih untuk hari ini, hanya satu kalimat yang ingin kuucap, aku ingin memainkan nada-nada cinta, agar terus berdenting dalam melodi cinta untuk Pujangga, akankan denting nada cintaku bersambut ....

Isi yang singkat dan lugas tanpa rayu dan basa basi. Pujangga memang unik, tapi aku bisa merasakan kesungguhan perasaannya, laki-laki dengan penampilan nyentrik itu tak main-main dengan hatinya. Sekali lagi kudekap amplob bergambar hati.

'Aku janji akan menjadi Denting Nada cinta untukmu, dan akan kujaga agar gemerincing iramanya selalu mengiringi  kita berdendang di pelataran cinta.' bisikku dengan rasa yang berbunga-bunga.

Sidoarjo, 16 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun