"Selamat, ya, kamu hebat!" pujiku. Laki-laki itu tersenyum menyipitkan mata.
"Aku menyukai setiap pementasanmu," sambungku. "Menurutku setiap karyamu memiliki ciri yang unik dan khas."
"Terima kasih. Aku menulis sendiri cerita dalam setiap pementasan." Laki-laki bernama Pujangga itu akhirnya mau bicara.
"Sayangnya tak semua orang memahami cerita dari tulisan yang kubuat."
'Aku penulis," ungkapku.
"Tulisan itu ungkapan yang bertumpu pada kebebasan berimajinasi. Bebas, liar, aneh, kadang sedikit gila, Â sesuka hati, bahkan bahasa yang dipakai pun sering hanya bisa dipahami oleh si pembuat tulisan,"
"Kamu benar, seperti juga hasil sebuah teatrikal, Â seringkali orang tak bisa menerjemahkan apa yang tersaji dalam setiap adegan," ujar Jangga, tangannya mengambil sebatang rokok, menyalakan dan mengisapnya dalam-dalam.
"Itulah yang membedakan orang awam dengan kita. Tak semua pikiran yang kita ungkapkan bisa dimengerti orang lain."
"Aku menyukai kebebasan berekspresi, tapi tetap dalam jalur yang tidak melanggar etika dan norma. Menurutmu, apa aku salah?"
"Sama sekali tidak," tegasku. "Karyamu bagus, tidak bertentangan dengan norma, juga tidak melanggar etika. Hanya saja tidak semua orang bisa mengerti alur cerita yang kamu tulis."
"Apa pendapatmu tentang diriku ketika pertama melihatku?" Jangga bertanya, kali ini mimiknya serius menatap mataku.