"Hebat, karyamu lumayan bagus untuk ukuran seorang anak SMA." Laki-laki itu menganggukan kepala. Aku mencebik mendengar dia berkali-kali menyebutku anak SMA. Jangga tertawa, berhasil mengulik hingga membuatku sebal.
"Oya, kalau nggak keberatan kapan-kapan kolab, yuk!" Jangga menawarkan. "Aku mendapat tawaran untuk mengisi Teater Remaja di sebuah media. Sepertinya tulisanmu cukup menarik untuk diangkat menjadi drama."
"Mau ... mau," jawabku antusias. Tentu saja aku girang, kapan lagi bisa mengenalnya lebih jauh, meski nantinya banyak cemooh yang singgahnya. Kalau teman-teman seusiaku sibuk mencari perhatian pada ketua Osis, pemain Basket, atau pejuang karya tulis ilmiah, hatiku justru tertambat pada Pujangga, mahasiswa seni teater, yang penampilannya nyentrik dengan rambut ikal sebahu dan selalu dikuncir ekor kuda. Ahhh, masa bodoh!  Aku Nada ... penulis yang lahir dari rahim seorang pemain lenong, bagiku dunia penulis seperti juga dunia pemain panggung, penuh  sandiwara ... dan hanya kita yang tahu peran yang sedang kita mainkan.
*
Siang begitu terik membakar, aku melangkah keluar halaman sekolah ketika seseorang menepuk bahuku.
"Jangga," pekikku kaget, "Darimana kamu tahu sekolahku?" Laki-laki berlesung pipi itu tertawa lebar.
"Sudah kubilang aku pernah liat pementasan puisimu," ujarnya dengan tawa makin lebar.
"Hmmm, iya, sih! Trus Kamu ngapain ke sekolahku?" Aku masih penasaran, debar di dada kembali berdentum-dentum.
"Kebetulan aku lewat dekat sini, siang ini ada pementasan teater di Balai Kota. Mau ikut?" Jangga memutar-mutar bola matanya kocak.
"Eh, mau, dong!" jawabku cepat.
"Yuk!" Dia berjalan mendahului, menuju tempat Ninjanya di parkir. Sejurus kemudian, Ninja hijau metalik telah membelah larik-larik jalan yang dipadati kemacetan.