Sore itu juga, Poltak langsung mendapat pelajaran pertama adab anak kota. Adab yang terpikir pun tidak  oleh anak kampung Panatapan.
Mandi harus pakai sabun mandi. Â Bukan pakai sabun cuci batangan cap jabat tangan atau cap telepon. Di Panatapan, itu sabun serbaguna: cuci pakaian, cuci peralatan dapur, dan mandi.
Gosok gigi harus pakai sikat gigi dan pasta gigi. Bukan pakai rumput rawa seperti di kampung. Atau, seringkali cuma digosok-gosok pakai jari telunjuk. Â Lalu kumur-kumur. Beres.
Setelah mandi, badan harus dikeringkan pakai handuk. Jangan langsung pakai baju seperti di kampung. Â Baju pun harus diganti dengan yang bersih. Â Agar tak kurapan, kudisan, atau panuan.
Begitulah  pelajaran mandi menurut adab orang kota.Â
Pelajaran makan lebih rumit lagi. Â Membikin Poltak jadi bahan tertawaan. Bukan bermaksud menghina sebenarnya. Tapi karena cara makan Poltak dirasa janggal saja.
Makan  duduk di kursi mengelilingi meja makan.  Bukan bersila lesehan di atas tikar.  Menyuap makanan pakai sendok dan garpu. Bukan pakai telapak dan jari tangan.Â
Cara makan harus elok. Mulut tak boleh berdecap sewaktu mengunyah makanan. Kerongkongan pun tak boleh berdekut-dekut sewaktu minum. Itu congok.
Lalu, dilarang bicara selagi mulut penuh makanan. Â Juga dilarang bersendawa selepas makan. Itu jorok.
Makanan harus dihabiskan. Â Makanan bersisa, berarti buang berkah. Tak bersyukur. Tak hormat pada makanan. Tak menghargai orang yang menghasilkan dan memasaknya.Â
"Banyak kali pun aturan makan ini. Â Jadi kurang sedaplah rasanya."Â