Poltak membatin kesal, sambil mengunyah pelan-pelan gulai ayam yang semestinya sedap. Jangan sampai berdecap pula mulutnya. Berpasang-pasang mata akan melotot.
"Poltak, sendok dan garpumu jangan berdenting-denting." Harry mengingatkan. Â Tanpa empati.
"Amangoi  amang.  Kucucukkan pula nanti garpu ini ke mulutmu," umpat Poltak dalam hati, kesal tak alang-kepalang. "Sendok dan garpu kena piring, ya berdentinglah!"
Hati boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin. Â Poltak memperhatikan cara tulangnya makan. Â Memang betul, Â sendok dan garpu mereka tak terlalu berisik. Â
Ternyata rahasianya sederhana. Â Sendok dan garpu harus menciduk dari arah samping. Bukan mencangkul dari aras ke bawah. Seperti diperbuat Poltak.
Sebenarnya adab warga Kisaran tidaklah kota-kota amat. Tiga kelompok suku di sana, Jawa, Melayu, dan Batak dan Jawa, belum lepas dari adab desa. Hanya karena bapak mertua Parandum itu pegawai tinggi perkebunan swasta asing, maka adab kota yang serba anggun, tertib dan disiplin tersosialisasi dalam keluarganya. Â Â
"Ayo, kita ke ruang belajar, Poltak," ajak Richard seusai makan malam.
"Ruang belajar? Kan lagi pakansi," tanggap Poltak terheran-heran. Dalam pikirannya, kalau sedang pakansi, ya, berarti terbebas dari pelajaran sekolah.
Ternyata Poltak salah kira. Â Ruang belajar itu merangkap perpustakaan. Pada tiga sisi ruangan terdapat tiga rak buku. Â Di tengahnya ada meja besar dan kursi-kursi.
Pandangan Poltak terpaku pada satu rak buku. Isinya penuh dengan majalah. Â Untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia melihat majalah sebanyak itu. Mendadak mabuk dia rasanya.
Di Panatapan dia hanya pernah membaca beberapa nomor majalah milik Parandum. Selecta dan Mayapada. Gambar-gambar sampulnya bikin mata belalak. Gadis-gadis cantik pamer belahan dada, pusar, dan pangkal paha. Â Tak baik itu untuk seorang calon pastor.