Hari-hari menjadi minggu, minggu-minggu menjadi bulan, bulan-bulan menjadi tahun. Waktu berlari ke depan pada garis lurus, atau mungkin melingkar ke atas membentuk spiral. Â
Atau barangkali waktu itu berlari melingkar dari titik alfa ke titik omega yang berimpit walau berada di titik masa yang berbeda. Seperti hari-hari yang berulang setiap minggu, purnama yang berulang setiap bulan, dan bulan-bulan yang berulang setiap tahun.
Tapi bagi warga Panatapan dan sekitarnya, juga bagi murid-murid dan guru-guru SD Hutabolon, Â hanya ada dua titik utama penanda alihwaktu. Â Tanggal 25 Desember, Hari Raya Natal dan 1 Januari, Hari Besar Tahun Baru. Para pendeta dan, kemudian, pastor yang mengajarkan itu kepada mereka.
 "Selamat Hari Natal dan Tahun Baru, anak-anakku,"  sapa Guru Harbangan, guru kelas lima SD Hutabolon, kepada murid-murid barunya.Â
Hari itu, Senin 3 Januari 1972. Â Hari pertama tahun ajaran baru di SD Hutabolon.
Ucapan selamat dari Guru Harbangan sarat makna. Â Makna syukur untuk pengalaman tahun lalu. Â Harapan pengalaman baik untuk tahun yang baru dijalani.Â
"Selamat Hari Natal dan Tahun Baru, Gurunami." Â Murid-murid kelas lima membalas sapaan Guru Harbangan. Â Mereka, delapanbelas anak, sudah diputuskan naik kelas oleh Guru Paruhum, guru kelas empat.
Di kelas lima, Poltak dan kawan-kawannya pada akhirnya bertemu dengan Guru Harbangan, guru paling galak di SD Hutabolon. Tidak ada anak kelas lima yang bisa melenggang naik ke kelas enam tanpa merasakan kapiran, getokan buku jari di kepala, dari Guru Harbangan. Â Tak perduli murid perempuan ataupun laki-laki, badan kecil ataupun besar, pintar ataupun bodoh. Â Selalu ada setidaknya satu alasan bagi Guru Harbangan untuk mengkapir muridnya.
"Kalian sudah kelas lima sekarang. Sudah besar. Â Sudah harus tahu mau jadi apa kelak." Seusai mengabsen murid, Guru Harbangan mengawali pembelajaran dengan sebuah dorongan semangat.
"Bistok!"