"Insiniur kebun, Gurunami," seru murid-murid serentak. Â Dulu, waktu kelas tiga, Poltak memang bilang dia mau jadi insiniur kebun.
"Hebat kau, Poltak. Â Benar begitu?" Â
"Tidak, Gurunami!" Â bantah Poltak tegas. Â Murid-murid lain terdiam, heran. Â Tak terkecuali Binsar dan Bistok. Â Keduanya belum tahu juga kalau Poltak sudah mengubah cita-citanya.
"Aku mau jadi pastor, Gurunami!" jawab Poltak tegas. Â Tidak ada sedikitpun keraguan dalam nada suaranya. Itu sebuah kepastian tentang perubahan cita-cita, mengikuti perubahan cakrawala pikir, seiring tambahan pengalaman dari tahun ke tahun.
Sejenak kelas hening. Â Tapi kemudian langsung riuh dengan ragam komentar dan gelak tawa.
"Bah, tak kau rasakanlah nanti enaknya kawin, Poltak!" Â "Memang kau sudah pernah kawin, Alogo?" "Ha ha ha ...." Â "Bagaimanalah nanti nasib Si Berta, Poltak!" Â "Bah, Berta untuk Si Jonderlah!" Â "Ha ha ha ...." "Jonder? Ke jurang sajalah dia!" "Ha ha ha ...." "Kau jadi pendeta saja, Poltak. Â Bisa kawin!" "Dongok kau ! Katolik, mana ada pendeta!"
"Heh! Diam semua!" Â bentak Guru Harbangan. Â Semua murid langsung ciut, kembut, diam. Â Reputasi Guru Harbangan sebagai tukang kapir, sudah santer se-SD Hutabolon.
"Poltak. Â Coba kau ceritakan mengapa kau bercita-cita jadi pastor." Â Kalau Guru Harbangan sudah bertitah, tak ada murid yang boleh membantahnya.
Poltak. mau tak mau, harus menceritakan perubahan cita-citanya. Â Semula, karena dorongan mendiang kakeknya, dia memang bercita-cita menjadi insiniur kebun. Â Tapi, kemudian, berpangkal dari interaksinya dengan pastor-pastor Paroki Parapat yang datang melayani umat Katolik di Stasi Aeknatio, dia perlahan-lahan berubah pikiran.
"Menjadi seorang pastor, kelihatannya sangat mulia," pikirnya. Â
Pikiran itu datang dari pengalaman dan pengamatan Poltak sendiri. Â Mulai dari jalan raya, gereja, sampai rumah umat.Â