Di jalan raya, jika ada Si Bontar Mata, Si Mata Putih, sebutan untuk orang Belanda atau bule, naik motor pit besar merek Triumph, Norton,atau BSA, maka anak-anak dan orang dewasa akan melambai sambil berteriak, "Pastor! Pastor!" Dia yang dipanggil pastor itu akan membalas lambaian sambil tersenyum. Â Di mata Poltak, itu keren sekali.
Sampai awal 1970-an, sejumlah pastor yang melayani umat di wilayah Paroki Parapat adalah keturunan Belanda. Â Walaupun mereka sebenarnya sudah menjadi warga negara Indonesia.
Di gereja, saat mempersembahkan Sakrament Ekaristi, Â di mata Poltak, pastor itu tampil sangat kharismatis. Â Penuh kuasa ilahi. Dalam momen konsekrasi, dia mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, Juru Selamat manusia. Â Pengalaman imani itu meneguhkan niat Poltak menjadi pastor.Â
Di rumah warga, saat pastor bermalam untuk menyemangati umat, dia akan disuguhi kue-kue enak dan lauk gulai ayam. Gadis-gadis dan ibu-ibu muda berebutan melayani kebutuhan pastor, atau sekadar mengerubutinya sambil menanyakan ini dan itu. Bagi Poltak, dikerumuni para perempuan itu sangat keren. Â Tepatnya, ada rasa iri dalam dirinya.
Rasa iri yang kelak akan disesalinya. Â Sebab jika hanya ingin dikerubuti perempuan maka, ternyata, Â tak perlu menjadi pastor. Cukuplah menjadi tukang sayur keliling di Jakarta.
Entah terpukau, atau mungkin juga paham, tak ada lagi teman-teman yang mengejek atau menertawakan Poltak karena cita-citanya menjadi pastor. Guru Harbangan juga tak bertanya apa pun lagi.
Tapi, setelah lonceng bubar sekolah berdentang, saat Poltak telah keluar dari ruang kelas dan melangkah ke arah jalan raya, seseorang bertanya dengan suara pelan dari jarak selangkah di belakangnya, "Poltak! Â Kau serius mau jadi pastor?"
Poltak berhenti, lalu membalikkan badan. Selangkah di hadapannya, berdiri Berta,  diam  terpaku. (Bersambung)