Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #064] Kejar Puyuh Kau Menang

5 Juli 2021   17:05 Diperbarui: 5 Juli 2021   21:54 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/ist. dokumen)

"Binsar! Kejar!"

Poltak berteriak mengomando Binsar.  Seekor burung puyuh baru saja terbang lurus ke arah selatan padang Holbung dari dekat kaki Binsar. Binsar harus mengejar dan menjatuhkan puyuh terbang itu dengan kibasan sarungnya.

Bistok sendiri berjaga di garis selatan padang Holbung dengan sarung di tangan.  Siaga mengibas puyuh terbang jika lolos dari tangkapan Binsar.

Cara berburu puyuh ini lain dari yang biasanya. Biasanya, Binsar yang berjaga di garis selatan, Poltak di garis utara.  Bistok menggebyah semak-semak untuk mengejutkan puyuh.  Jika puyuh terbang ke selatan maka Binsar yang akan mencegatnya di udara.  Jika ke utara maka Poltak yang mencegat. 

Sekarang, Binsar yang mengebyah, lalu mengejar puyuh kaget. Poltak berjaga di utara, Bistok berjaga di selatan.

"Dapot!"  Binsar bersorak.  Itu puyuh kedua yang berhasil dikejar dan dijatuhkannya.  Enam lainnya lolos dari kejarannya.  Seekor dari enam itu berhasi dijatuhkan Bistok.  Dua ekor dijatuhkan Poltak.  Tiga ekor lolos merdeka.

Tiga sekawan itu tidak sedang sekadar berburu puyuh.  Itu adalah gagasan Poltak untuk meningkatkan kecepatan lari Binsar.  Latihan lomba lari. 

Jika bisa mengejar dan menangkap burung puyuh terbang, maka Binsar pasti bisa memenangi seleksi pelari seratus meter di SD Hutabolon.  Seleksi dilakukan dalam rangka kesertaan dalam perlombaan lari seratus meter pada Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1971 di Parapat.

Di SD Hutabolon, Binsar bersaing dengan Janter dari kelas lima dan Marisi dari kelas enam.  Hanya satu orang yang akan dipilih Guru Paruhum untuk mewakili SD Hutabolon. Satu sekolah memang diwakili satu orang pelari.

"Binsar, kau harus terpilih mewakili sekolah kita," Poltak menyemangati Binsar.  "Ya, harus!" Alogo ikut meyakinkan Binsar.  Semua murid kelas empat mendukung Binsar.

"Tapi  ... Janter dan Marisi larinya cepat seperti angin."  Binsar kurang percaya diri.

"Kita latihan nanti.  Biar kecepatan larimu melebihi angin!" Poltak meyakinkan Binsar.

Mengejar puyuh terbang.  Itulah latihan lari alami yang terpikirkan oleh Poltak.  Setiap hari selama seminggu, sepulang sekolah, tiga sekawan itu berburu puyuh di padang Holbung, sambil menggembalakan kerbau.

Pada hari pertama dan kedua latihan, Binsar tak berhasil mengejar seekor pun burung puyuh.   Barulah pada hari ketiga, keempat, dan kelima dia berhasil mengejar dan menangkap seeekor.  Pada hari keenam dan ketujuh, Binsar berhasil mengejar dan menangkap dua ekor.

Tinggal seminggu sebelum 17 Agustus 1971. Seleksi akhir pelari seratus meter diadakan. Pilihannya hanya satu dari tiga orang. Binsar, Janter, atau Marisi.

"Siaaap!" Guru Paruhum memberi aba-aba. Binsar, Janter, dan Marisi bersiap di garis start. "Satu! Dua! Ti ... Janter! Belum! Balik kau!" Guru Paruhum menegur Janter yang sudah melesat sebelum hitungan ketiga.  

"Ya, siaap!  Satu! Dua! Ti ... oi, Marisi!  Belum! Balik!" Giliran Marisi yang mencuri start.

"Huu ...!" Murid-murid kelas empat menyoraki Janter dan Marisi.  Kebetulan sedang pelajaran olah raga untuk kelas empat.  Jadi mereka bisa menonton seleksi dan menyemangati Binsar.

"Binsar! Binsar! Binsar!"  Murid-murid kelas empat meneriakkan yel-yel menyemangati Binsar.  Poltak tampil sebagai dirigen.

"Siap!"  Guru Paruhum kembali memberi aba-aba. "Satu. Dua. Tiga!"

Binsar, Janter, dan Marisi melesat seperti pelor lepas dari ujung laras senapan.  "Binsar! Binsar! Binsar!"  Yel-yel penyemangat bergema.

Ketiga anak itu berlari seperti angin.  Tidak ada yang kalah.  Ketiganya menyentuh tali di garis finish secara bersamaan.  Tidak ada pemenang. Harus diulang.

"Binsar," bisik Poltak ke kuping Binsar. "Anggap saja Si Janter dan Si Marisi itu dua ekor puyuh.  Kau harus mendahului mereka. Supaya bisa nangkap."

"Puyuh, Poltak?"

"Ya, puyuh," tegas Poltak sambil mengangguk.

"Siap!" Guru Paruhum kembali memberi aba-aba.  "Satu! Dua! Tiga!"

Kembali Binsar, Janter, dan Marisi melesat seperti anak panah lepas dari busurnya.  Lurus menghunjam dengan kecepatan angin ke arah utara.

"Binsar! Binsar! Binsar!"

"Haaah!  Binsar menang!"  Poltak bersorak.  Diikuti sorak-sorai anak-anak kelas empat.  

Binsar menang dua langkah dari Marisi.  Marisi menang satu langkah dari Janter.  Bagi Guru Paruhum, kemenangan Binsar belum meyakinkan.  perlu pembuktian sekali lagi.

"Kali ini Binsar menang.  Tapi Pak Guru belum yakin.  Kita ulangi sekali lagi."  Guru Paruhum menjelaskan keraguannya.  Dia harus memastikan kemenangan Binsar bukan sebuah kebetulan.

"Binsar, cepat kali larimu. Lebih cepat dari angin kau."  Poltak memuji Binsar, sambil mengunyak kue onde ketawa yang baru dibelinya dari kedai Ama Rosmeri.

"Larimu lebih cepat dari Janter dan Marisi. Mereka cuma dua ekor puyuh.  Kau harus menang!"  Poltak menyemangati Binsar. Sambil tetap mengunyah kue onde ketawa di tangan kanan.  Di tangan kirinya dia masih menggenggam sebutir lagi.

"Betul itu.  Kau pasti menang!"  Bistok ikut menyemangati.

"Kau harus mewakili sekolah kita!" Poltak menegaskan.  Masih mengunyah kue ketawa.

Sementara itu, Janter dan Marisi tak bisa menerima kenyataan kalah dari Bistok.

"Masa anak kelas enam dan lima kalah dari anak kelas empar." Janter memprovokasi Marisi.

"Tak bisa dibiarkan itu."  Marisi termakan provokasi Janter.  

"Kita mainkan." Janter mengedipkan mata kepada Marisi.  Marisi mengangguk tipis.

"Binsar! Janter! Marisi! Ayo, siap-siap lagi. Terakhir ini!"  Guru Marihot memberi aba-aba.

"Binsar! Aku ke garis finis, ya!"  Poltak berteriak sambil berlari ke arah garis finish di sisi utara lapangan.  Mulutnya masih mengunyah kue onde ketawa.

Binsar, berada di antara Janter dan Marisi, bersiap di garis start.

"Siaaap!  Satu! Dua! Tiga!"

Tiga pelari itu melesat seperti puyuh kaget terbang ke arah garis finis di utara.  Tidak. Hanya Janter dan Marisi yang seperti puyuh. Binsar merasa dirinya pemburu puyuh.  Dia harus lebih cepat dari puyuh.

"Binsar! Binsar! Binsar!" Lagi, yel-yel penyemangat bergema.  Kali ini Alogo yang menjadi dirigen.  Poltak berada di belakang garis finish.  Melompat-lompat, berteriak-teriak, menyemangati Binsar.  Sebutir kue onde ketawa masih dalam genggaman tangan kirinya.

Sekitar tigapuluh meter sebelum garis finish, terlihat sebuah kejanggalan.  Janter dan Marisi terlihat merapat akan menjepit Binsar. 

"Bahaya! Binsar mau digunting!" Poltak berteriak cemas, dalam hati. Binsar bisa jatuh tergelimpang.  Gagal merebut tiket ke perlombaan lari seratus meter di Parapat.

"Binsaaar!  Awas!  Lariii ...!"  Poltak berteriak sejadinya, mengingatkan Binsar. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun