Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan untuk Husen

19 Juni 2025   08:40 Diperbarui: 19 Juni 2025   08:16 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang guru sore itu diselimuti cahaya temaram yang masuk dari jendela besar di sisi timur. Tirai berayun pelan tertiup angin, mengangkat aroma kapur basah dan kopi sachet yang menyatu dalam udara. Di meja paling ujung, Yani menatap layar laptopnya dengan tatapan berat. Di depannya, tabel nilai terbuka lebar, seperti lembar takdir yang menunggu diteken.

Hari ini, 18 Juni 2025. Rapat kenaikan kelas. Hari yang bagi sebagian guru, adalah selebrasi. Bagi Yani, ini hari paling senyap sekaligus paling ramai di dalam kepala.

“Yani, kelasmu udah oke semua?” tanya Bu Erna, guru BK, sambil menyeruput teh manis yang masih mengepul.

Yani hanya menjawab dengan senyum kecil. Tapi hatinya tidak tenang. Matanya terus tertuju pada satu nama: Husen.

Kelas 8N memiliki 32 siswa. Laki-laki dan perempuan seimbang. Ada siswa yang luar biasa cemerlang seperti Rafa, dengan nilai akademik melesat dan hafalan Qur’an yang mengesankan. Ada pula siswa-siswa yang meski tak spektakuler, namun menunjukkan semangat belajar yang menghangatkan hati.

Tapi Husen… dia adalah cerita yang berbeda.

Yani menelusuri kembali catatan pembinaan dan laporan guru. Ia membacanya perlahan, jari-jarinya menyusuri permukaan kertas yang sedikit kasar, menyisakan sensasi dingin di ujung kulit.

Husen, anak laki-laki kurus, mata sayu yang sering menerawang ke luar jendela kelas. Langkah kakinya sering tertatih, bukan karena lelah fisik, tapi karena beban pikiran yang tak kasatmata. Sejak kelas 7, Husen sudah menunjukkan ketidaknyamanan di lingkungan asrama. Sering menyendiri, enggan bicara, dan pandangan matanya kosong seperti buku catatan yang belum ditulis.

Suatu hari di pertengahan Juni, Yani memberanikan diri mendekatinya. “Husen, boleh kita ngobrol sebentar?”

Mereka duduk di bangku belakang kelas yang sudah mulai lapuk, bunyi decit kayu terdengar saat mereka duduk. Di sekitar mereka, hanya suara kipas angin tua yang berputar malas dan aroma debu buku perpustakaan yang melekat di hidung.

“Ada apa, Bu?” suara Husen pelan, nyaris tenggelam dalam gumam kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun