Alasannya? Beda keyakinan, dan mereka sepakat buat nggak lanjut ke pernikahan. Otong cuma bisa menerima kalau mungkin ini emang jalan yang diatur Tuhan.
Tapi, hari ini, Otong merasa kayak ada harapan baru yang muncul. Bavik, dengan segala keceriaannya, membawa warna yang berbeda dalam hidupnya. Otong sadar, kadang hidup memang penuh kejutan yang nggak terduga.
Dan hari itu, meskipun dia belum berhasil dapat tumpangan buat pulang kampung, Otong merasa hari ini nggak sia-sia. Sebuah pagi yang diawali dengan hampir ketabrak motor, sekarang berubah jadi pagi yang penuh senyum dan tawa bareng Bavik.
Siapa tahu jalan yang panjang penuh romantisme ini, dari cerita menemani beli sisir yang sederhana ini, bisa lahir cerita yang lebih dari sekadar kenangan bagi mereka berdua.
***
Otong hari itu buru-buru banget. Bukan buru-buru biasa, tapi udah kayak dia dikejar-kejar utang sama debt collector pinjol. Tujuannya jelas, mau ke pangkalan motor tambang air di sungai, biar bisa pulang ke kampungnya.
Eh, baru juga melangkah, tiba-tiba ada motor ngebut hampir nabrak dia. Si pengendara motor itu nggak pakai helm, gayanya koboy, penuh tatto lagi, kurang ajar banget.
"Woi, monyet kamu! Mau bunuh diri, ya? Jangan di jalan, cari tempat lain, dong!" teriak si pengendara motor, dengan mata melotot kayak mau keluar.
Dia tidak mau tahu, apakah Otong tersinggung atau marah. Bahasanya kasar seperti orang tidak berpendidikan.
"Maaf, Pak," kata Otong sambil mengangkat tangan berusaha sabar.
"Pak? Sejak kapan gue jadi bapak lo, hah?" bentak si pengendara lagi sambil ngegas motor, pergi entah ke mana.