01-Cewek Cantik Bagai Bidadari
Otong hari itu buru-buru banget. Bukan buru-buru biasa, tapi udah kayak dia dikejar-kejar utang sama debt collector pinjol. Tujuannya jelas, mau ke pangkalan motor tambang air di sungai, biar bisa pulang ke kampungnya.
Eh, baru juga melangkah, tiba-tiba ada motor ngebut hampir nabrak dia. Si pengendara motor itu nggak pakai helm, gayanya koboy, penuh tatto lagi, kurang ajar banget.
"Woi, monyet kamu! Mau bunuh diri, ya? Jangan di jalan, cari tempat lain, dong!" teriak si pengendara motor, dengan mata melotot kayak mau keluar.
Dia tidak mau tahu, apakah Otong tersinggung atau marah. Bahasanya kasar seperti orang tidak berpendidikan.
"Maaf, Pak," kata Otong sambil mengangkat tangan berusaha sabar.
"Pak? Sejak kapan gue jadi bapak lo, hah?" bentak si pengendara lagi sambil ngegas motor, pergi entah ke mana.
Meskipun kesal bin marah, Otong cuma bisa geleng-geleng kepala. Aneh aja, udah salah ngebut, nggak pakai helm, masih nyalahin orang lain lagi. Betul-betul maling teriak maling.
Baru juga mau jalan lagi, terdengar suara surgawi seorang gadis dari belakang, "Bang... Bang... Bang..."
Suara merdu yang bikin kuping adem. Tapi, Otong lagi nggak mood buat ngeladenin, dia jalan aja perlahan-lahan, takut kejadian hampir ketabrak tadi terulang kembali.
Dalam pikirannya, Otong ngelamun soal hal-hal serius, kayak tambang emas liar yang merusak lingkungan dan bikin jalur pelayaran sungai jadi nggak aman lagi.
Sepanjang sungai Kapuas, pasir dan batu disedot abis-abisan, sampai sungainya dangkal di musim kemarau.
Tiba-tiba, ada sebuah jari lembut bak giok yang nyolek pundaknya, "Bang Otong ..."
Refleks saja Otong menoleh, dan matanya ketemu sama seorang cewek cantik, putih, hidung mancung, seumuran anak SMA. Tingginya sekitar 160 cm. Cewek ini berdiri di depannya, senyum manis banget kayak bidadari turun dari langit.
Cewek itu pakai rok batik panjang sampai betis, dengan sandal heels open toe yang memamerkan kaki mulusnya. Rambutnya tebal panjang hitam, bibirnya merah alami, tetapi nggak pakai lipstik apapun. Kuku kaki bersih, tanpa kuteks.
Wih, bikin Otong sampai terdiam kayak patung.
"Abang lupa sama gue, ya?" tanya cewek itu, masih dengan senyuman yang bisa bikin cowok-cowok susah makan dan tidur.
Otong bengong, otaknya bekerja keras mencoba mengingat, "Siapa ya, Non?" tanyanya penuh rasa penasaran.
Dia bingung, gadis secantik ini bagaimana bisa mengenali dirinya? Apakah mimpi? Tanya Otong dalam hati sambil mencubit tangannya. Ternyata sakit.
"Duh, lo kok masih muda udah pikun, Bang. Gue Bavik, inget gak?"
"Eh? Bavik?" Otong masih bingung. Nama itu kayak familiar, tapi dia nggak yakin dari mana.
Bavik senyum lagi, "Ndak banyak yang namanya Bavik lho, Bang. Atau lo kenal Bavik yang lain?"
"Oh iya, baru gue inget! Lo anaknya Pak Prindavan, kan?"
Bavik ngangguk, senyum makin manis. Sampai dalam hati Otong mikir, "Ini beneran Bavik yang dibilang anak-anak kos gue dulu cantik banget? Ya, bener juga sih, nih cewek emang cakep parah."
"Buset dah, gue kira ada artis dari mana kesasar di sini. Ternyata lo udah gede aja, cantik lagi."
"Emangnya gue batu yang nggak bisa tumbuh, Bang Otong?" jawab Bavik ceplas-ceplos. Hatinya sangat senang di bilang cantik. Memang ada gadis senang di bilang jelek?
"Eh, lo mau ke mana sih, Bang?" tanyanya membuyarkan lamunan Otong.
"Gue mau cari tambang atau orang yang mau pulang ke kampung. Mau balik kampung nih," jawab Otong panjang lebar.
"Kalau gitu, abang tolongin gue dulu, dong," kata Bavik tiba-tiba.
"Nolong? Nolong apaan?" Otong bingung, soalnya saat ini dia juga lagi buru-buru.
"Antar gue beli sisir rambut, dong. Gue udah nggak punya sisir lagi, nih."
"Beli sisir?" Otong garuk-garuk kepala yang nggak gatal, "Masa beli sisir aja butuh ditemenin?"
"Yalah, Bang. Ayolah, antar gue," Bavik menarik tangan Sangen, dan dia bisa ngerasain lagi betapa lembutnya tangan gadis itu.
Bikin dia gemeteran kayak kena setrum listrik ribuan watt.
"Iya deh," jawab Otong akhirnya, meskipun hatinya galau. Harusnya dia segera cari tumpangan, tapi jalan bareng cewek cantik begini siapa yang bisa nolak?
Mereka jalan bareng ke pasar serba 35k, "Emangnya lo pulang dari mana sih, kok rapi banget?"
"Ya, turun dari rumah emang mau beli sisir. Tapi kalau sendiri agak serem juga, takut ada cowok-cowok yang iseng saja. Apa lagi kalau preman, iih serem deh."
"Kan bisa kapan-kapan aja beli sisirnya."
"Ndaklah, Bang. Gue di sini cuma numpang sama paman dan bibi, jadi nggak enak kalau sering keluar. Ini hari kan kebetulan hari Minggu, jadi kesempatan gue buat keluar."
Sepanjang jalan ke pasar, banyak teman-teman Bavik yang liat mereka berdua jalan bareng.
"Wih, diam-diam lo udah punya cowok ya?" teriak salah satu teman Bavik.
"Katanya nggak mau pacaran, eh ini jalan sama cowok!" tambah temannya yang lain lagi sambil cekikikan.
Bavik cuek aja, "Jangan dengarin mereka, Bang. Mereka cuma iri aja lihat gue jalan sama cowok ganteng."
"Ganteng?" pikir Otong dalam hati. Dia sih ngerasa biasa aja, cowok kumal seperti pengemis ini bagaimana bisa ganteng? Tapi mungkin di mata cewek ini dia kelihatan ganteng ya, yah, siapa tahu?
Mereka terus jalan, dan akhirnya sampai di beberapa toko yang jual sisir yang serba 35K. Untuk sisir, 35k dapat 10 buah. Bavik milih dan coba-coba beberapa sisir, sebelum akhirnya beli lima buah sekaligus, bisa 20k.
Sementara Otong membatin, bakalan banyak supermarket yang bakalan kolaps karena barang murah begini. Karena menjual barang negara Wakanda ...
"Lima sisir? Banyak amat?" tanya Otong sambil nyengir.
"Ini masih kurang, Bang. Nanti kalau ortu gue kirim duit, gue mau beli lagi."
"Emangnya mau buka toko sisir?"
"Ndak lah, Bang ..."
"Lalu siapa yang pakai sisir sebanyak itu?"
"Iya gue lah. Satu buat di kamar tidur, satu buat nyisir sebelum berangkat sekolah, satu lagi buat di dapur, satu buat dibawa ke sekolah, dan dua buat cadangan. Nanti pasti ada aja yang hilang."
Otong, meskipun bingung, tetapi diam saja. Mungkin cewek memang kelakuannya aneh. Tapi dia ingat akan tujuan awalnya, jadi dia pastikan tidak ada kebutuhan lain dari cewek cantik ini.
"Terus, mau ke mana lagi sekarang?"
Bavik tersenyum misterius. "Jalan dulu bentar, ya Bang? Gue jarang banget bisa keluar gini, temenin gua lah ya, please?" seru Bavik manja.
Busyet, keluh Otong. Dia sempat mikir, dia kan sebenarnya mau pulang kampung. Tapi, jalan sama cewek cantik seperti Bavik adalah kesempatan yang nggak datang setiap hari.
Tak ada kesempatan kedua. Akhirnya, dia setuju buat nemenin cewek itu jalan-jalan.
Otong memang nggak pernah nyangka pagi itu bakal kayak gini. Dia tadinya turun dari losmen cuma buat cari tumpangan pulang ke kampungnya di hulu. Semalem dia naik bis malam dari Pontianak, sampai di kota ini udah hampir jam tujuh pagi.
Perjalanan yang harusnya cepat malah jadi lama gara-gara antri di penyeberangan ferry di Semuntai. Apalagi jalan dari Pontianak penuh lubang, kayak bekas perang dunia saja.
Tapi entah kenapa, hari itu dia malah mutusin buat lewat jalan yang masuk ke arah pasar Inpres dari belakang. Di jalan itu, banyak Masjid dengan arsitektur yang megah. Beberapa orang terlihat duduk berzikir, membuat Otong mikir betapa taatnya umat di sini.
Otong sadar, di musim kemarau kayak gini, cari tambang atau tumpangan buat pulang ke kampung itu susah banget. Apalagi sungai Kapuas sekarang udah dipenuhi para penambang emas liar yang merusak jalur pelayaran.
Wajah-wajah pemiliknya kebanyakan keturunan Wakanda, tetapi tidak ada penertiban dari Pemerintah.
Batu-batu dan kerikil menyebar di mana-mana, bikin jalur pelayaran sering berubah-ubah, dan banyak kapal yang salah jalur atau nabrak batu. Mirisnya, disorakin para pekerjanya lagi.
Jika tidak sabar, bakalan sering terjadi perkelahian.
Sambil jalan bareng Bavik, pikiran Otong melayang ke banyak hal. Dia ingat gimana perjalanan hidupnya yang penuh liku. Dia pernah punya pacar, tapi udah setahun mereka putus.
Alasannya? Beda keyakinan, dan mereka sepakat buat nggak lanjut ke pernikahan. Otong cuma bisa menerima kalau mungkin ini emang jalan yang diatur Tuhan.
Tapi, hari ini, Otong merasa kayak ada harapan baru yang muncul. Bavik, dengan segala keceriaannya, membawa warna yang berbeda dalam hidupnya. Otong sadar, kadang hidup memang penuh kejutan yang nggak terduga.
Dan hari itu, meskipun dia belum berhasil dapat tumpangan buat pulang kampung, Otong merasa hari ini nggak sia-sia. Sebuah pagi yang diawali dengan hampir ketabrak motor, sekarang berubah jadi pagi yang penuh senyum dan tawa bareng Bavik.
Siapa tahu jalan yang panjang penuh romantisme ini, dari cerita menemani beli sisir yang sederhana ini, bisa lahir cerita yang lebih dari sekadar kenangan bagi mereka berdua.
***
Otong hari itu buru-buru banget. Bukan buru-buru biasa, tapi udah kayak dia dikejar-kejar utang sama debt collector pinjol. Tujuannya jelas, mau ke pangkalan motor tambang air di sungai, biar bisa pulang ke kampungnya.
Eh, baru juga melangkah, tiba-tiba ada motor ngebut hampir nabrak dia. Si pengendara motor itu nggak pakai helm, gayanya koboy, penuh tatto lagi, kurang ajar banget.
"Woi, monyet kamu! Mau bunuh diri, ya? Jangan di jalan, cari tempat lain, dong!" teriak si pengendara motor, dengan mata melotot kayak mau keluar.
Dia tidak mau tahu, apakah Otong tersinggung atau marah. Bahasanya kasar seperti orang tidak berpendidikan.
"Maaf, Pak," kata Otong sambil mengangkat tangan berusaha sabar.
"Pak? Sejak kapan gue jadi bapak lo, hah?" bentak si pengendara lagi sambil ngegas motor, pergi entah ke mana.
Meskipun kesal bin marah, Otong cuma bisa geleng-geleng kepala. Aneh aja, udah salah ngebut, nggak pakai helm, masih nyalahin orang lain lagi. Betul-betul maling teriak maling.
Baru juga mau jalan lagi, terdengar suara surgawi seorang gadis dari belakang, "Bang... Bang... Bang..."
Suara merdu yang bikin kuping adem. Tapi, Otong lagi nggak mood buat ngeladenin, dia jalan aja perlahan-lahan, takut kejadian hampir ketabrak tadi terulang kembali.
Dalam pikirannya, Otong ngelamun soal hal-hal serius, kayak tambang emas liar yang merusak lingkungan dan bikin jalur pelayaran sungai jadi nggak aman lagi.
Sepanjang sungai Kapuas, pasir dan batu disedot abis-abisan, sampai sungainya dangkal di musim kemarau.
Tiba-tiba, ada sebuah jari lembut bak giok yang nyolek pundaknya, "Bang Otong ..."
Refleks saja Otong menoleh, dan matanya ketemu sama seorang cewek cantik, putih, hidung mancung, seumuran anak SMA. Tingginya sekitar 160 cm. Cewek ini berdiri di depannya, senyum manis banget kayak bidadari turun dari langit.
Cewek itu pakai rok batik panjang sampai betis, dengan sandal heels open toe yang memamerkan kaki mulusnya. Rambutnya tebal panjang hitam, bibirnya merah alami, tetapi nggak pakai lipstik apapun. Kuku kaki bersih, tanpa kuteks.
Wih, bikin Otong sampai terdiam kayak patung.
"Abang lupa sama gue, ya?" tanya cewek itu, masih dengan senyuman yang bisa bikin cowok-cowok susah makan dan tidur.
Otong bengong, otaknya bekerja keras mencoba mengingat, "Siapa ya, Non?" tanyanya penuh rasa penasaran.
Dia bingung, gadis secantik ini bagaimana bisa mengenali dirinya? Apakah mimpi? Tanya Otong dalam hati sambil mencubit tangannya. Ternyata sakit.
"Duh, lo kok masih muda udah pikun, Bang. Gue Bavik, inget gak?"
"Eh? Bavik?" Otong masih bingung. Nama itu kayak familiar, tapi dia nggak yakin dari mana.
Bavik senyum lagi, "Ndak banyak yang namanya Bavik lho, Bang. Atau lo kenal Bavik yang lain?"
"Oh iya, baru gue inget! Lo anaknya Pak Prindavan, kan?"
Bavik ngangguk, senyum makin manis. Sampai dalam hati Otong mikir, "Ini beneran Bavik yang dibilang anak-anak kos gue dulu cantik banget? Ya, bener juga sih, nih cewek emang cakep parah."
"Buset dah, gue kira ada artis dari mana kesasar di sini. Ternyata lo udah gede aja, cantik lagi."
"Emangnya gue batu yang nggak bisa tumbuh, Bang?" jawab Bavik ceplas-ceplos. Hatinya sangat senang di bilang cantik. Memang ada gadis senang di bilang jelek?
"Eh, lo mau ke mana sih, Bang?" tanyanya membuyarkan lamunan Otong.
"Gue mau cari tambang atau orang yang mau pulang ke kampung. Mau balik kampung nih," jawab Otong panjang lebar.
"Kalau gitu, abang tolongin gue dulu, dong," kata Bavik tiba-tiba.
"Nolong? Nolong apaan?" Otong bingung, soalnya saat ini dia juga lagi buru-buru.
"Antar gue beli sisir rambut, dong. Gue udah nggak punya sisir lagi, nih."
"Beli sisir?" Otong garuk-garuk kepala yang nggak gatal, "Masa beli sisir aja butuh ditemenin?"
"Yalah, Bang. Ayolah, antar gue," Bavik menarik tangan Sangen, dan dia bisa ngerasain lagi betapa lembutnya tangan gadis itu.
Bikin dia gemeteran kayak kena setrum listrik ribuan watt.
"Iya deh," jawab Otong akhirnya, meskipun hatinya galau. Harusnya dia segera cari tumpangan, tapi jalan bareng cewek cantik begini siapa yang bisa nolak?
Mereka jalan bareng ke pasar serba 35k, "Emangnya lo pulang dari mana sih, kok rapi banget?"
"Ya, turun dari rumah emang mau beli sisir. Tapi kalau sendiri agak serem juga, takut ada cowok-cowok yang iseng saja. Apa lagi kalau preman, iih serem deh."
"Kan bisa kapan-kapan aja beli sisirnya."
"Ndaklah, Bang. Gue di sini cuma numpang sama paman dan bibi, jadi nggak enak kalau sering keluar. Ini hari kan kebetulan hari Minggu, jadi kesempatan gue buat keluar."
Sepanjang jalan ke pasar, banyak teman-teman Bavik yang liat mereka berdua jalan bareng.
"Wih, diam-diam lo udah punya cowok ya?" teriak salah satu teman Bavik.
"Katanya nggak mau pacaran, eh ini jalan sama cowok!" tambah temannya yang lain lagi sambil cekikikan.
Bavik cuek aja, "Jangan dengarin mereka, Bang. Mereka cuma iri aja lihat gue jalan sama cowok ganteng."
"Ganteng?" pikir Otong dalam hati. Dia sih ngerasa biasa aja, cowok kumal seperti pengemis ini bagaimana bisa ganteng? Tapi mungkin di mata cewek ini dia kelihatan ganteng ya, yah, siapa tahu?
Mereka terus jalan, dan akhirnya sampai di beberapa toko yang jual sisir yang serba 35K. Untuk sisir, 35k dapat 10 buah. Bavik milih dan coba-coba beberapa sisir, sebelum akhirnya beli lima buah sekaligus, bisa 20k.
Sementara Otong membatin, bakalan banyak supermarket yang bakalan kolaps karena barang murah begini. Karena menjual barang negara Wakanda ...
"Lima sisir? Banyak amat?" tanya Otong sambil nyengir.
"Ini masih kurang, Bang. Nanti kalau ortu gue kirim duit, gue mau beli lagi."
"Emangnya mau buka toko sisir?"
"Ndak lah, Bang ..."
"Lalu siapa yang pakai sisir sebanyak itu?"
"Iya gue lah. Satu buat di kamar tidur, satu buat nyisir sebelum berangkat sekolah, satu lagi buat di dapur, satu buat dibawa ke sekolah, dan dua buat cadangan. Nanti pasti ada aja yang hilang."
Otong, meskipun bingung, tetapi diam saja. Mungkin cewek memang kelakuannya aneh. Tapi dia ingat akan tujuan awalnya, jadi dia pastikan tidak ada kebutuhan lain dari cewek cantik ini.
"Terus, mau ke mana lagi sekarang?"
Bavik tersenyum misterius. "Jalan dulu bentar, ya Bang? Gue jarang banget bisa keluar gini, temenin gua lah ya, please?" seru Bavik manja.
Busyet, keluh Otong. Dia sempat mikir, dia kan sebenarnya mau pulang kampung. Tapi, jalan sama cewek cantik seperti Bavik adalah kesempatan yang nggak datang setiap hari.
Tak ada kesempatan kedua. Akhirnya, dia setuju buat nemenin cewek itu jalan-jalan.
Otong memang nggak pernah nyangka pagi itu bakal kayak gini. Dia tadinya turun dari losmen cuma buat cari tumpangan pulang ke kampungnya di hulu. Semalem dia naik bis malam dari Pontianak, sampai di kota ini udah hampir jam tujuh pagi.
Perjalanan yang harusnya cepat malah jadi lama gara-gara antri di penyeberangan ferry di Semuntai. Apalagi jalan dari Pontianak penuh lubang, kayak bekas perang dunia saja.
Tapi entah kenapa, hari itu dia malah mutusin buat lewat jalan yang masuk ke arah pasar Inpres dari belakang. Di jalan itu, banyak Masjid dengan arsitektur yang megah. Beberapa orang terlihat duduk berzikir, membuat Otong mikir betapa taatnya umat di sini.
Otong sadar, di musim kemarau kayak gini, cari tambang atau tumpangan buat pulang ke kampung itu susah banget. Apalagi sungai Kapuas sekarang udah dipenuhi para penambang emas liar yang merusak jalur pelayaran.
Wajah-wajah pemiliknya kebanyakan keturunan Wakanda, tetapi tidak ada penertiban dari Pemerintah.
Batu-batu dan kerikil menyebar di mana-mana, bikin jalur pelayaran sering berubah-ubah, dan banyak kapal yang salah jalur atau nabrak batu. Mirisnya, disorakin para pekerjanya lagi.
Jika tidak sabar, bakalan sering terjadi perkelahian.
Sambil jalan bareng Bavik, pikiran Otong melayang ke banyak hal. Dia ingat gimana perjalanan hidupnya yang penuh liku. Dia pernah punya pacar, tapi udah setahun mereka putus.
Alasannya? Beda keyakinan, dan mereka sepakat buat nggak lanjut ke pernikahan. Otong cuma bisa menerima kalau mungkin ini emang jalan yang diatur Tuhan.
Tapi, hari ini, Otong merasa kayak ada harapan baru yang muncul. Bavik, dengan segala keceriaannya, membawa warna yang berbeda dalam hidupnya. Otong sadar, kadang hidup memang penuh kejutan yang nggak terduga.
Dan hari itu, meskipun dia belum berhasil dapat tumpangan buat pulang kampung, Otong merasa hari ini nggak sia-sia. Sebuah pagi yang diawali dengan hampir ketabrak motor, sekarang berubah jadi pagi yang penuh senyum dan tawa bareng Bavik.
Siapa tahu jalan yang panjang penuh romantisme ini, dari cerita menemani beli sisir yang sederhana ini, bisa lahir cerita yang lebih dari sekadar kenangan bagi mereka berdua.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI