"Tidak, Matt. Kau harus tetap membelikan gondola untukku nanti. Kau harus tetap menginginkannya karena dengan itu aku akan sembuh, kau ingat aku sudah berjanji akan selalu menaiki gondola itu denganmu bersama-sama di sore hari, 'kan?"
"Benarkah? Apakah kakek benar akan sembuh jika aku tetap menginginkannya?"
Phillip mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah, kakek bersabar, ya. Aku akan memintanya kepada Tuhan setiap hari. Kata Marianne, Tuhan itu hebat bisa memberikan permintaan apa saja. Kemarin lusa aku meminta kepada Tuhan agar diberikan permen lolipop yang aku lihat di toko dekat sungai Amstel ketika berjalan-jalan bersama Marianne, dan esoknya aku mendapati lolipop itu dibalik bantal tidurku. Tuhan sungguh ajaib kan, kakek!" ujar Matthew dengan sangat antusias.
Philip mengangguk lagi dan tertawa melihat tingkah lucu cucunya. Ia mengelus rambut pirangnya. Ia mengetahui bahwa Marianne-lah yang menaruh permen itu. Rupanya wanita paruh baya itu ingin agar Matthew tetap dalam keyakinan dan imajinasinya, sama seperti yang dilakukan Phillip.
"Oh! Sepertinya aku akan melakukan sesuatu! Kakek tunggu di sini aku akan segera kembali!"
Matthew beranjak dari kamar Phillip dan berlari menuju rumah Marianne. Ia menarik lembut pakaian Marianne yang sedari tadi sedang membuat kue.
"Marianne! Marianne! Biasakah kau berikan kertas dan pena padaku?"
"Untuk apa, sayang?" timpal Marianne sembari tetap mengaduk adonan Eierkoek.
"Aku ingin menulis surat untuk Tuhan."
Marianne berhenti dengan aktivitasnya, dengan wajah penuh kehangatan ia menanggalkan sarung plastik di tangannya. Ia mengambil secarik kertas kusam cokelat, sebotol tinta dan sehelai pena burung. Matthew kecil mulai menulis, ia sudah hafal alfabet dan mampu merangkainya menjadi kalimat.