Mohon tunggu...
Rama Dio Syahputra
Rama Dio Syahputra Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pelajar Indonesia di Perancis.

Saya senang memaknai dunia manusia yang hanya sementara ini. Di antara kebebasan dan keinginan, saya menghakimi makna itu dengan ditemani diri saya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pergi untuk kembali 2

23 April 2020   04:03 Diperbarui: 23 April 2020   23:01 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di sini semua bermula dan berakhir Picture By : Rama Dio Syahputra

Dia hanya diam dan masih asik mengikat bunga yang telah dikumpulkannya dengan ranting kering.

Aku memalingkan badanku darinya yang ikut berjalan. Kemudian, baru melangkah empat kali dia meraih tanganku dan menariknya. "Radhi! Kamu mau kemana?!"

"Aku sudah tidak seperti dulu lagi Alice, ketika hari sudah gelap di alam bebas seperti ini, artinya aku sudah harus turun." Jelasku.

"Kamu harus ikut aku dulu! Sebentar saja, aku ingin menunjukan kamu sesuatu."

Aku kebingungan dan hanya bisa menurutinya, ia pun tidak berhenti memegang tanganku dengan tangan kananya. "Kamu ingin membawaku kemana, Alice? Jangan terlalu jauh, kakiku sudah tidak kuat lagi untuk berjalan ke atas."

Sambil masih memegang bunganya, dia menggiringku ke jalan setapak yang berlawanan dengan arah pulang. Kami berjalan turun sedikit kebawah, ke sisi lain dari bukit yang luas itu, aku belum pernah melihat sisi itu sebelumnya, padahal entah sudah berapa kali aku telah mendaki dent du chat.

Kemudian, tidak jauh dari situ aku melihat sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu bata merah dan kayu, ada cerobong asap yang menyala di atasnya, betul-betul sebuah rumah tua yang elok sekali. Aku sangat terheran karena tidak menyangka akan ada rumah di atas gunung ini. Alice membawaku ke depan pintu rumah itu.

"Radhi, kamu ketuk pintunya, ya! Dan ini untukmu!" dia memberikanku bunga-bunga hasil petikannya yang sudah terikat rapih oleh ranting, "Dan jangan lupa memberikannya, ya!"

Aku mengambil bunga darinya. "Hah? maksudmu? Alice! ini rumah siapa?! Ada-ada saja kamu ini... mana mungkin aku mengetuk pintunya tahu!"

"Sudahlah Pak Tua! Cerewet sekali kamu ini, ketuk saja pintunya! Jangan lupa untuk tersenyum!"

Aku bingung sekali dan entah mengapa aku masih menuruti perkataanya. Lalu, aku berjalan ke depan pintu itu dan melihat Alice yang berdiri berjarak tidak lebih dari satu lemparan batu dariku. Dia berwajah girang sekali, aku tidak tahu mengapa dia senang, mungkin saja dia hanya ingin mengerjaiku. Pintu itu berwarna merah, lalu terdengar seperti ada seseorang di dalamnya, seperti bernyanyi dengan pelan dan merdu, aneh sekali rasanya aku seperti mengenal suara itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun