Mohon tunggu...
masikun
masikun Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa

Mahasiswa Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ekonomi 9-10 D

23 Oktober 2019   13:41 Diperbarui: 23 Oktober 2019   13:57 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seberes dari kamar mandi aku kembali ke ruang tunggu. Mulai terlihat ramai. Orang mulai berdatangan. Kursi-kursi mulai terisi. Aku kembali duduk di kursi deretan depan. Kursi paling depan. Ku sandarkan ransel tepat disamping kiriku. Kembali ku baca buku Kangen yang Berkualitas. 

"Permisi Mas, kosong?"

"Eh iya silakan Bu!"

Seorang wanita muda yang sebenarnya belum pantas dipanggil Ibu duduk disebelah kananku. Ibu itu asik dengan ponselnya. Akupun asik dengan bacaanku. Satu persatu kursi di kanan kiri, belakang, penuh terisi. Sampai ranselkupun ku turunkan karena ada yang hendak duduk. Kesibukan di loket tiket mulai terlihat. Pantas. Sudah jam 8 ternyata. Setengah jam lagi kereta yang ku tunggu datang.

"Mas, boleh minta bantu, ndak?" Seorang Ibu dengan anak digendonganya menimpaliku.

"Oh bisa Bu, Gimana?"

"Anu, ini ibu minta tolong cetakin tiket kereta."

"Owh ya bisa bu." Akupun meletakan buku di atas kursi. Setelah ku minta KTP, akupun menuju counter check-in. Ada tiga tiket yang berhasil ku cetak.

"Mas, inikan anak saya yang kecil belum dapat tiket, gimana ya?"

"Oh coba urus di loket sini aja bu." Ku serahkan ketiga tiket. Ibu itu menuju loket untuk mengurus tiket untuk anaknya yang masih digendongan.

"Eh kakak nunggu di sana sama Om ya!" Aku yang merasa terpanggil dengan panggilan itu, juga karena si ibu memang sambil menatapku.

"Ayok sini duduk."

"Hallo siapa namanya?"

"Kevin." Si cowo dengan gaya rambut mohawk menjawab dengan semangat. Umurnya kisaran 7 tahun.

"Kalo kamu siapa namanya?"

"Ayla." Jawab malu-malu anak perempuan bergamis hijau muda itu. Umurnya kisaran 3 tahunan.

Dua anak ini ternyata adek kakak. Tingkah keduanya membikinku tersenyum ria. Meskipun si kakak Kevin ini suka usil, tapi ya begitulah. Namanya juga anak-anak. Beda dengan Ayla yang kalem banget. Ku lihat ibu tadi masih mengurus tiketnya. Akupun masih asik dengan Kevin dan Ayla. Beberapa kali aku bermain tebak-tebakan dengan Kevin. Hasilnya, aku kalah terus. 

"Ini sudah di Stasiun Gandrung" Tiba-tiba pensan WA terbaca di layar kunci ponsel. Aku masih asik bermain dengan Kevin.

"Mas, minta tolong bawakan tas Ibu ya. Mohon maaf ngerepotin."

"Oh gak papa Ibu, yang mana saja."

Setelah ibu selesai dengan urusan pertiketanya kamipun masuk peron. Ibu, Kevin dan Ayla berjalan di depanku. Aku mengikutinya dari belakang dengan menenteng tas besar. 

"Mas, maaf ngerepotin ya." Timpal lelaki paruh baya. Aku yang masih kebingungan, bapak itu meneruskan.

"Saya suaminya."

"Oh ya, tidak apa-apa Pak." Akupun mengulurkan tangan, dan mencium tangan beliau. Kevin, Ayla, dan anak yang masih dalam gendongan itupun melambaikan tangan ke bapak tadi, ayah mereka. Pemandangan haru nan menyejukan. Mereka berpisah (sementara) dengan senyum bahagia.

"Oh ya, ibu mau kemana?"

"Mau ke Tangerang ini. Lah Mas mau kemana?"

"Oh Tangerang, nanti dari Pasar Senenya gimana bu? Saya sebenarnya cuman mau main-main saja bu hehe."

"Kayaknya sih naik grab aja ya Mas." Aku terdiam. Pasar senen - Tangerang itu jauh loh. 

"Eh Bu, dede kecil ini siapa namanya?"

"Nisaa, Om." Jawab ibu dengan gaya seolah dede kecilnya yang ngomong.

"Hallo Nisa, duhh gemess bangettt. Oh ya Kevin dan Ayla, sudah sekolah Bu?"

"Sudah, besok mereka masuk malah. Kak, kok omnya gak dikasih?" Aylapun menawariku pisang goreng.

"Terima kasih Ayla."

Suara khas keretapai terdengar. Tanda kereta akan datang. Benar adanya. Kereta yang kunanti akhirnya mulai terlihat moncongnya. Petugaspun telah siap berdiri peron. Lagu keroncong serayu mengalun. Aku berdiri bersiap. Juga ibu, Nisa, Ayla, dan Kevin. Kami berjalan menuju lintasan dua, tempat kereta masuk.

"Awas Kevin, jangan dekat-dekat rel ya. Ikuti om nanti ya."

Keretapun melambat. Berhenti. Ada yang turun. Ada juga yang naik. Ibu dan Nisa naik duluan. Kemudian Kevin dan Ayla. Aku masih mengikuti di belakang mereka. Untunglah kereta sekarang sudah rapi dan bersih. Jadi untuk anak-anak seperti mereka sangatlah ramah. Tempat duduk mereka berada di gerbong tiga ekonomi. Tepat dimana kami naik ini adalah gerbong tiga. Jadi tidaklah jauh dan sulit untuk mencari tempat duduk mereka.#

"Terima kasih ya Om sudah membantuin."

"Om duduk dimana, Ma." Tanya Kevin.

"Om di Gerbong 6, belakang sana."

"Jauh ya Om?"

"Engga kok engga, nanti bisa kok Om kesini lagi."

"Beneran Om, yeay" Tatapan Ayla benar-benar tajam.

"Udah ya, Om ke sana dulu. Baik-baik ya, dadah Kevin, Ayla dan Nisa. Ibu saya tinggal dulu ya." 

"Iya, sekali lagi terima kasih banyak ya Mas, maaf banget sudah ngerepotin." 

"Ya ampun ibu, enggak kok engga." Akupun pamitan dengan mencium tangan ibu, dan diikuti cium tangan dari Kevin, Ayla, juga Nisa.

Kereta sudah berjalan. Aku berjalan menuju gerbong enam. Tempat dimana kursi tempatkku duduk disana; 10D. Berjalan dari gerbong ke gerbonmg. Melewati beberapa kamar kecil. Juga gerbong makan yang berada di gerbong 5. Gerbong yang kulewati ternyata sudah penih dengan penumpang. Tiap masuk gerbong selalu saja ada yang memandangiku. Mungkin menganggap orang yang salah gerbong, karena kereta sudah berjalan dan tas masih saja ku angklek. 

Pintu terakhir gerbong 5, artinya juga pinta masuk gerbong 6. Satu persatu kursi, dan papan nomor ku perhatikan. Ku lihat nomor 9D. Kuletakan tas di kabin. Aku sekilas menatap seseorang yang duduk sendirian di kursi 10D. Akupun langsung duduk di kursi 9C. Harusnya memang 9D, tapi kulihat kursi sudah ada yang mengisi. Tak apalah, asal masih ada yang kosong.

"Mereka di gerbong berapa?" Tanya seseorang yang duduk di kursi 10D. 

"Gerbong tiga. Ini gak papa duduk disini?" 

"Engga papa, santai aja." Akupun melempar senyum ke sosok ibu yang duduk berhadapan denganku. Juga bapak yang duduk di kursi 9D. Pada akhirnya aku tahu ternyata seseorang inilah yang melobi Bapak untuk tukar kursi denganku.

-bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun