Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Katanya Ada 5000 Dapur MBG Fiktif, Benarkah?

19 September 2025   15:03 Diperbarui: 19 September 2025   15:03 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan Bergizi Gratis (Antara)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan. Setelah sebelumnya menuai kritik karena kasus keracunan makanan di sejumlah daerah, kini muncul dugaan adanya 5.000 dapur MBG fiktif. Sebuah tuduhan yang, bila benar adanya, dapat mengguncang kepercayaan publik terhadap salah satu program andalan pemerintah di bidang kesehatan dan gizi.

Tuduhan Serius dari DPR

Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi dari Partai NasDem, melontarkan tuduhan bahwa terdapat ribuan titik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG yang disebut "fiktif." Alasannya, sudah lebih dari 45 hari sejak pendaftaran dan pengajuan lokasi, tetapi tidak ada tanda-tanda pembangunan fisik. Bagi DPR, ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan bukti lemahnya verifikasi dan pengawasan sejak tahap awal.

Nurhadi bahkan menduga ada praktik jual beli titik MBG alias percaloan, dominasi investor besar, hingga yayasan yang dijadikan kedok. Jika benar, maka MBG tidak hanya rawan salah kelola, tetapi juga bisa menjadi ladang subur bagi korupsi. Tak heran DPR mendesak adanya transparansi data: dari daftar lokasi, status pembangunan, jadwal operasional, hingga audit kinerja.

Klarifikasi dari BGN

Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga pelaksana tentu tidak tinggal diam. Kepala BGN, Dadan Hindayana, membantah adanya dapur fiktif. Menurutnya, titik-titik yang belum menunjukkan progres bukanlah fiktif, melainkan masih dalam proses. Ada istilah yang dipakai: "booking lokasi". Dengan kata lain, lahan sudah diajukan, tapi pembangunan fisik tertunda karena berbagai faktor: perizinan, kesiapan mitra, atau kendala teknis lain.

Dadan juga menjelaskan bahwa pembangunan dapur tidak seluruhnya dibiayai APBN. Banyak mitra --- mulai dari lembaga keagamaan, yayasan, hingga TNI dan Polri --- yang ikut menanggung pembangunan fisik. Pemerintah pusat lebih banyak menyalurkan anggaran untuk belanja bahan makanan dan intervensi gizi. Ia menekankan, BGN sedang memperbaiki sistem verifikasi serta melakukan evaluasi lapangan terhadap titik-titik yang belum beroperasi.

Dengan kata lain, BGN ingin menegaskan: jangan buru-buru menyebut "fiktif." Namun, publik tetap berhak bertanya: kalau bukan fiktif, kenapa begitu banyak titik mangkrak dalam waktu lama?

Anggaran Fantastis, Harapan Besar

Skeptisisme publik makin wajar jika melihat besarnya uang negara yang digelontorkan. Pada 2025, pemerintah mengalokasikan Rp71 triliun untuk MBG. Hingga Agustus 2025, realisasi penyerapan sudah mencapai Rp13,2 triliun. Bahkan, proyeksi hingga akhir tahun bisa menembus Rp76,4 triliun.

Untuk tahun 2026, pagu indikatif yang disiapkan melonjak drastis: sekitar Rp268 triliun. Dana raksasa itu ditujukan untuk melayani 82,9 juta orang. Angka ini menegaskan dua hal: skala program MBG memang luar biasa besar, tapi risikonya pun tak kalah besar jika pengawasan lemah.

Seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, "Siapa yang berjuang melawan monster, hendaklah ia berhati-hati agar tidak menjadi monster itu sendiri." Anggaran besar yang dimaksudkan untuk melawan gizi buruk bisa berubah menjadi "monster" korupsi jika tidak ada transparansi.

Masalah Lama yang Belum Usai

Di luar isu dapur fiktif, problem klasik MBG masih bergelayut: keracunan makanan. Sejumlah kasus terus terjadi, menunjukkan bahwa pengawasan mutu pangan belum maksimal. Ini ironis, karena tujuan utama MBG justru memastikan makanan bergizi, aman, dan sehat.

Kombinasi antara tuduhan dapur fiktif, percaloan titik, dan keracunan makanan seakan menegaskan satu hal: sistem evaluasi dan verifikasi program MBG masih penuh celah. Bila dibiarkan, bukan hanya uang negara yang terbuang, tapi juga kesehatan generasi penerus yang dikorbankan.

Belajar dari Negara Lain

Untuk keluar dari lingkaran masalah ini, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang berhasil menjalankan program gizi publik.

Jepang, misalnya, memiliki program gakko kyushoku atau makan siang sekolah yang sudah berjalan sejak 1940-an. Di sana, makanan sekolah bukan hanya soal kenyang, tetapi juga bagian dari pendidikan. Anak-anak diajarkan pentingnya gizi seimbang, disiplin, hingga kebersihan. Transparansi menjadi kunci: menu dan bahan makanan dipublikasikan, dan ada standar nasional yang ketat untuk kualitas gizi.

Brasil juga punya kisah sukses lewat Programa Nacional de Alimentao Escolar (PNAE). Pemerintah Brasil mewajibkan setidaknya 30 persen bahan makanan untuk sekolah dibeli langsung dari petani lokal. Selain menjamin gizi anak, kebijakan ini mendukung ekonomi desa. Dana program dipublikasikan secara terbuka, dan masyarakat ikut memantau distribusi.

Pelajaran penting dari Jepang dan Brasil: transparansi, partisipasi publik, dan pengawasan berlapis adalah benteng utama agar program gizi berskala besar tidak tergelincir menjadi ladang korupsi.

Jalan Keluar: Transparansi dan Partisipasi Publik

Lalu, bagaimana seharusnya masalah ini ditangani agar tidak berulang? Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.

Pertama, verifikasi lokasi pra-pendaftaran harus dilakukan dengan ketat. Jangan ada lagi "booking lokasi" tanpa jaminan lahan, akses air, listrik, dan kesiapan operasional.

Kedua, batas waktu konstruksi harus tegas. Jika dalam 45 hari tidak ada progres fisik, titik itu harus dicabut dan dialihkan ke pihak lain.

Ketiga, audit independen oleh BPK atau lembaga lain wajib dilakukan. Data semua titik MBG, mitra pengelola, hingga dana yang digelontorkan harus terbuka bagi publik.

Keempat, pengawasan lapangan berbasis masyarakat. Pemerintah daerah, media, dan organisasi sipil perlu diberi ruang untuk ikut mengawasi. Mekanisme whistleblower harus ada, dan pelapor dilindungi hukum.

Kelima, sanksi keras bagi pelanggar. Mitra yang terbukti memperjualbelikan titik MBG harus dicabut izinnya. Jika ada indikasi pidana, aparat penegak hukum wajib turun tangan.

Akhirnya, jangan lupa aspek yang paling mendasar: mutu dan keamanan pangan. Dapur megah tidak ada artinya jika makanan yang keluar justru membahayakan.

Penutup: Menyelamatkan Program Besar

Program MBG adalah ide besar yang, bila dijalankan dengan benar, bisa menjadi warisan penting bagi bangsa. Gizi anak yang baik adalah investasi jangka panjang, jauh lebih berharga dari sekadar infrastruktur beton.

Namun ide besar membutuhkan eksekusi yang teliti. Seperti kata John C. Maxwell: "Sebuah mimpi yang ditulis menjadi tujuan. Tujuan yang dipecah menjadi langkah-langkah menjadi rencana. Rencana yang dijalankan dengan tindakan membuat mimpi itu jadi nyata."

Kini, pertanyaan utamanya: apakah MBG akan jadi mimpi indah yang diwujudkan, atau sekadar mimpi fiktif yang tertutup oleh angka-angka anggaran dan laporan palsu?

Jawabannya ada di tangan kita bersama: pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil. Transparansi, integritas, dan pengawasan adalah kunci agar anak bangsa bisa benar-benar merasakan manfaat dari setiap rupiah uang negara yang telah digelontorkan.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun