Lalu, bagaimana seharusnya masalah ini ditangani agar tidak berulang? Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.
Pertama, verifikasi lokasi pra-pendaftaran harus dilakukan dengan ketat. Jangan ada lagi "booking lokasi" tanpa jaminan lahan, akses air, listrik, dan kesiapan operasional.
Kedua, batas waktu konstruksi harus tegas. Jika dalam 45 hari tidak ada progres fisik, titik itu harus dicabut dan dialihkan ke pihak lain.
Ketiga, audit independen oleh BPK atau lembaga lain wajib dilakukan. Data semua titik MBG, mitra pengelola, hingga dana yang digelontorkan harus terbuka bagi publik.
Keempat, pengawasan lapangan berbasis masyarakat. Pemerintah daerah, media, dan organisasi sipil perlu diberi ruang untuk ikut mengawasi. Mekanisme whistleblower harus ada, dan pelapor dilindungi hukum.
Kelima, sanksi keras bagi pelanggar. Mitra yang terbukti memperjualbelikan titik MBG harus dicabut izinnya. Jika ada indikasi pidana, aparat penegak hukum wajib turun tangan.
Akhirnya, jangan lupa aspek yang paling mendasar: mutu dan keamanan pangan. Dapur megah tidak ada artinya jika makanan yang keluar justru membahayakan.
Penutup: Menyelamatkan Program Besar
Program MBG adalah ide besar yang, bila dijalankan dengan benar, bisa menjadi warisan penting bagi bangsa. Gizi anak yang baik adalah investasi jangka panjang, jauh lebih berharga dari sekadar infrastruktur beton.
Namun ide besar membutuhkan eksekusi yang teliti. Seperti kata John C. Maxwell: "Sebuah mimpi yang ditulis menjadi tujuan. Tujuan yang dipecah menjadi langkah-langkah menjadi rencana. Rencana yang dijalankan dengan tindakan membuat mimpi itu jadi nyata."
Kini, pertanyaan utamanya: apakah MBG akan jadi mimpi indah yang diwujudkan, atau sekadar mimpi fiktif yang tertutup oleh angka-angka anggaran dan laporan palsu?