Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Katanya Ada 5000 Dapur MBG Fiktif, Benarkah?

19 September 2025   15:03 Diperbarui: 19 September 2025   15:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan Bergizi Gratis (Antara)

Untuk tahun 2026, pagu indikatif yang disiapkan melonjak drastis: sekitar Rp268 triliun. Dana raksasa itu ditujukan untuk melayani 82,9 juta orang. Angka ini menegaskan dua hal: skala program MBG memang luar biasa besar, tapi risikonya pun tak kalah besar jika pengawasan lemah.

Seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, "Siapa yang berjuang melawan monster, hendaklah ia berhati-hati agar tidak menjadi monster itu sendiri." Anggaran besar yang dimaksudkan untuk melawan gizi buruk bisa berubah menjadi "monster" korupsi jika tidak ada transparansi.

Masalah Lama yang Belum Usai

Di luar isu dapur fiktif, problem klasik MBG masih bergelayut: keracunan makanan. Sejumlah kasus terus terjadi, menunjukkan bahwa pengawasan mutu pangan belum maksimal. Ini ironis, karena tujuan utama MBG justru memastikan makanan bergizi, aman, dan sehat.

Kombinasi antara tuduhan dapur fiktif, percaloan titik, dan keracunan makanan seakan menegaskan satu hal: sistem evaluasi dan verifikasi program MBG masih penuh celah. Bila dibiarkan, bukan hanya uang negara yang terbuang, tapi juga kesehatan generasi penerus yang dikorbankan.

Belajar dari Negara Lain

Untuk keluar dari lingkaran masalah ini, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang berhasil menjalankan program gizi publik.

Jepang, misalnya, memiliki program gakko kyushoku atau makan siang sekolah yang sudah berjalan sejak 1940-an. Di sana, makanan sekolah bukan hanya soal kenyang, tetapi juga bagian dari pendidikan. Anak-anak diajarkan pentingnya gizi seimbang, disiplin, hingga kebersihan. Transparansi menjadi kunci: menu dan bahan makanan dipublikasikan, dan ada standar nasional yang ketat untuk kualitas gizi.

Brasil juga punya kisah sukses lewat Programa Nacional de Alimentao Escolar (PNAE). Pemerintah Brasil mewajibkan setidaknya 30 persen bahan makanan untuk sekolah dibeli langsung dari petani lokal. Selain menjamin gizi anak, kebijakan ini mendukung ekonomi desa. Dana program dipublikasikan secara terbuka, dan masyarakat ikut memantau distribusi.

Pelajaran penting dari Jepang dan Brasil: transparansi, partisipasi publik, dan pengawasan berlapis adalah benteng utama agar program gizi berskala besar tidak tergelincir menjadi ladang korupsi.

Jalan Keluar: Transparansi dan Partisipasi Publik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun