Tak semua yang tertulis benar adanya. Di zaman digital ini, informasi sangat mudah diakses, tetapi tidak semuanya valid. Buku, artikel, atau tulisan yang tampak meyakinkan bisa saja menyebarkan hoaks, teori konspirasi, atau paham radikal.
Seperti apa yang saat ini terjadi, banyak sekali penulis yang kita tidak tahu siapa penulisnya tiba-tiba menulis propaganda yang tujuannya ingin merusak pemikiran pembacanya. Pada mulanya bacaan ini dianggap sebagai tulisan modern dengan versi berbeda, tapi ternyata membuat pembacanya mengikuti apa yang dibacanya dengan reaksi-reaksi negatif.Â
Semula hanya sebuah ide tentang kemerdekaan misalnya, tapi pada tataran idealisme buku tersebut menggiring opini pada pembaca agar melakukan kekerasan jalanan dan melakukan kekerasan di muka publik tanpa rasa bersalah.
Pernah pula ada seorang konten kreator yang menyampaikan bahwa belajar dan sekolah itu tidak penting, yang tentu jika ide ini diterima kalangan muda dengan mentah-mentah. Dampaknya akan semakin rusaknya generasi muda. Anak-anak semakin jauh dari dunia pendidikan dan menganggap bahwa sukses itu dapat didapat secara instant.
Orang yang tidak memiliki kemampuan membaca kritis bisa menerima mentah-mentah isi bacaan tanpa menyaring kebenarannya. Akibatnya, mereka bisa mempercayai hal-hal yang keliru, bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Contoh ekstremnya adalah buku-buku propaganda yang digunakan dalam perang, ekstremisme, atau sektarianisme. Membaca tanpa kemampuan berpikir kritis bisa menjadi awal dari penyesatan berpikir.
2. Membaca Tanpa Aksi: Ilmu yang Mandek
Ada juga bahaya dari membaca terlalu banyak tanpa pernah menerapkan atau membagikan ilmunya. Seseorang bisa menjadi "pengumpul informasi", sibuk membaca buku demi buku, artikel demi artikel, tetapi tidak pernah mengaplikasikannya.
Ilmu yang tidak diamalkan hanya akan menjadi tumpukan konsep di kepala. Bahkan bisa membuat seseorang merasa "lebih pintar dari orang lain" padahal belum pernah mempraktikkan satu pun ide dari buku-buku itu. Inilah yang disebut "intelektualisme pasif"---tahu banyak, tapi tidak berbuat apa-apa.
Padahal sebagai pembaca, apalah gunanya menyimpan ingatan di otaknya jika pengetahuan itu tidak juga bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Paling tidak jika kita mengenal sedikit pengetahuan, maka melakukan diskusi dan berbagi aksi nyata adalah satu sikap yang layak dilakukan oleh orang-orang yang hobi membaca.