Waktu putri saya baru mulai belajar membaca dan menulis, saya senang sekali melihat dia begitu antusias. Usianya belum genap lima tahun, tapi dia sudah bisa menuliskan nama, menyalin kalimat dari buku cerita, bahkan menulis surat imajiner untuk teman-khayalannya.
Saya termasuk orang tua yang membebaskan dia bereksperimen. Kalau dia menulis aku sayang ibu semua huruf kecil, saya tepuk tangan. Kalau dia menulis AKu SAyaNG IbU campur-campur huruf besar dan kecil, saya juga bilang "Bagus!"
Bagi saya waktu itu, tujuan utama adalah dia berani menulis. Saya ingin menumbuhkan kecintaan pada aktivitas menulis sebelum terlalu ribet membahas tata bahasa. Bukankah itu penting? Anak mau dulu, suka dulu. Saya pikir, urusan aturan nanti bisa menyusul.
Masalahnya, dia sudah duduk di kelas tiga SD. Buku Bahasa Indonesia sudah mulai menekankan aturan baku: huruf kapital di awal kalimat dan nama diri. Tanda titik di akhir kalimat. Huruf kecil di kata-kata biasa. Dan mulailah muncul drama baru.
Anak saya menulis di buku tugasnya begini:
AKU SUKA Makan AYaM GoReng.
Gurunya membetulkan dengan pulpen merah. Tanda silang di sana-sini.
Di rumah, saya diminta mendampingi belajar menulis kalimat. Ketika saya minta dia perbaiki, dia manyun. "Kan aku sudah bisa baca, Bun. Ibun juga bisa baca tulisanku kan? Kenapa harus diubah?"
Di situ saya bingung juga. Bukankah dulu saya sendiri yang bilang "bebas aja dulu"? Saya sempat bertanya ke diri sendiri: Apakah salah saya?
Bahasa Itu Hidup, Tapi Sekolah Butuh Aturan
Anak-anak generasi Alfa ini memang tumbuh di dunia yang sangat berbeda dari masa kita. Mereka mengenal tulisan bukan hanya dari buku pelajaran, tapi dari chat WhatsApp keluarga, status Facebook nenek kakek, komentar YouTube, teks TikTok yang sering huruf besar-kecilnya ngawur tapi tetap dibaca jutaan orang.