Saya bilang lagi, "Iya, Ibun juga bisa baca. Tapi kalau untuk sekolah, ada aturannya, Kak. Kayak main badminton. Kamu bisa pukul sesuka hati, tapi kalau tanding harus ada aturan net, garis, wasit."
Dia merenung sebentar, lalu tertawa. "Berarti kalau aku nulis buat diriku boleh suka-suka?"
Saya jawab, "Boleh. Tapi kalau buat tugas sekolah, kita ikuti aturan."
Dia manggut. Dan malam itu dia menulis:
Saya ingin main.
Dengan huruf besar hanya di S. Saya tepuk tangan. Dia senyum bangga.
Orang Tua Milenial vs Generasi Alfa
Saya rasa banyak orang tua zaman sekarang mengalami hal yang sama. Kita dibesarkan di era buku cetak yang tertib. Anak kita lahir di era media sosial yang anarkis tanda baca.
Kita ingin anak kreatif, bebas berpendapat, berani menulis. Tapi kita juga ingin dia bisa menulis dengan aturan yang benar.
Kadang kita terlalu fokus menekankan kreativitas sampai lupa menjelaskan kenapa aturan itu penting. Kadang kita juga sebaliknya, terlalu cepat menuntut rapi, sampai anak stres duluan.
Saya kira tidak salah kalau di awal kita bebaskan. Itu penting untuk menumbuhkan rasa suka. Tapi akan jadi masalah kalau kita berhenti di sana.
Menulis itu keterampilan. Butuh tahap demi tahap. Bebas dulu, baru teratur. Berantakan dulu, baru rapi.