Kalau kita bilang harus huruf besar di awal kalimat, mereka bisa dengan mudah membalas: Loh, di YouTube enggak gitu juga bisa kebaca. Dan memang benar. Bahasa di kehidupan sehari-hari sekarang jauh lebih santai, tidak kaku.Â
Orang dewasa pun menulis caption Instagram seenaknya: AKU LAPER BANGET atau yaudah deh gpp. Jadi wajar kalau anak-anak kita melihat hal itu sebagai kebiasaan. Mereka meniru.
Masalahnya, sekolah (dengan sangat logis) masih menekankan bahasa baku. Karena menulis di sekolah bukan cuma untuk diri sendiri, tapi untuk dipahami orang lain dengan standar yang sama. Karena tugas menulis di buku pelajaran melatih kemampuan berpikir terstruktur. Karena ujian nanti akan menilai tanda baca.
Ini yang kadang luput kita sampaikan ke anak.
Saya yang Terlalu Longgar
Saya ingat, dulu saya sengaja membebaskan anak menulis semaunya. Prinsip saya waktu itu:
- yang penting dulu dia mau menulis
- yang penting dia bisa membaca tulisannya sendiri
- yang penting dia tidak takut salah
Dan saya tidak menyesal. Karena jujur saja, kalau terlalu cepat ketat, dia bisa mogok duluan. Tapi sekarang saya mulai sadar: anak saya sudah butuh level berikutnya. Sama seperti dia belajar naik sepeda. Awalnya asal jalan dulu, nabrak juga nggak apa-apa. Tapi lama-lama saya harus ajari belok yang benar, rem yang benar.
Saya kira itu juga berlaku untuk menulis.
Dialog di Meja Belajar
Suatu malam, saat dia mengerjakan tugas, dia kembali menulis dengan campur-campur huruf:
SaYa INgIN MaIN.
Saya bilang pelan, "Bagus idenya. Tapi coba lihat buku. Di sana hurufnya kayak apa?"
Dia bilang, "Aku males pakai huruf kecil-besar, kan bisa kebaca."