Konselor mungkin perlu merenungkan tindakan mereka, memperbaiki pemahaman tentang etika profesional, dan meningkatkan keterampilan dalam menangani situasi sensitif.Â
3. Implikasi Terhadap Profesi Bimbingan dan KonselingÂ
Kasus ini dapat merusak reputasi profesi bimbingan dan konseling di mata publik, yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan yang diberikan oleh konselor.Â
Insiden pemaksaan dapat menciptakan stigma negatif, di mana siswa dan orang tua enggan mencari bantuan dari konselor, menghalangi efektivitas layanan bimbingan dan konseling.Â
Kasus ini mungkin mendorong badan pengatur untuk memperketat regulasi dan pengawasan terhadap praktik bimbingan dan konseling, termasuk pelatihan etika yang lebih komprehensif.Â
Insiden ini dapat menjadi pelajaran bagi profesi bimbingan dan konseling untuk meningkatkan kesadaran etika di kalangan konselor, mendorong diskusi tentang hak asasi manusia dan otonomi individu dalam praktik.Â
Pelanggaran kode etik dalam kasus pemaksaan jilbab memiliki dampak yang luas, tidak hanya bagi klien dan konselor, tetapi juga terhadap integritas dan reputasi profesi bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Penanganan yang tepat dan perbaikan sistemik sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Alternatif Solusi yang Bisa DilakukanÂ
Menurut Zahraini et al. (2023), dengan menyarankan peningkatan pemahaman guru BK terhadap kode etik profesi dapat mencegah tindakan malpraktek, termasuk pemaksaan nilai-nilai pribadi kepada siswa. Dalam menghadapi kasus dugaan pemaksaan jilbab di SMAN 1 Banguntapan, beberapa alternatif solusi dapat diterapkan untuk memastikan penyelesaian yang praktis dan etis. Pertama, mengadakan dialog terbuka dan mediasi antara pihak sekolah, orang tua, dan siswi dapat menjadi langkah awal yang baik. Pertemuan ini, yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral, akan memberikan kesempatan bagi siswi untuk mengungkapkan perasaannya tanpa tekanan, sehingga dapat mengurangi trauma dan membangun kembali kepercayaan diri. Selanjutnya, pelatihan etika dan sensitivitas budaya bagi konselor dan guru perlu diselenggarakan secara berkala. Pelatihan ini akan meningkatkan pemahaman tentang hak asasi manusia dan keberagaman, yang penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif. Dengan demikian, pelanggaran etika di masa mendatang dapat di minimalisir, dan kepercayaan masyarakat terhadap profesi bimbingan dan konseling akan meningkat.Â
Penyediaan layanan dukungan psikologis juga merupakan langkah penting. Menawarkan konseling profesional untuk siswi yang mengalami trauma akibat pemaksaan akan membantu proses pemulihan dan memperkuat kesejahteraan mentalnya. Ini menunjukkan komitmen konselor terhadap kesejahteraan siswa dan memperbaiki hubungan dengan orang tua serta siswa lainnya. Selain itu, revisi kebijakan sekolah tentang seragam dan kebebasan berpakaian sangat diperlukan. Kebijakan yang memperbolehkan pilihan berpakaian sesuai dengan keyakinan dan preferensi individu tanpa pemaksaan akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa, menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif.Â
Terakhir, penerapan sanksi yang proporsional bagi konselor atau guru yang melanggar, disertai dengan program pembinaan, dapat membantu memperbaiki kesalahan dan mencegah terulangnya pelanggaran. Ini akan meningkatkan rasa keadilan bagi siswa dan menunjukkan komitmen profesi bimbingan dan konseling terhadap standar etika yang tinggi. Dengan menerapkan solusi-solusi ini, semua pihak dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan menghargai hak-hak individu, serta memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang di masa depan.