Mohon tunggu...
Mabyn Cyrilla Emrys Evelyn
Mabyn Cyrilla Emrys Evelyn Mohon Tunggu... Universitas Negeri Malang

Mahasiswa Bimbingan dan Konseling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PELANGGARAN ETIKA PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING: Studi Kasus Kekerasan Fisik dan Psikologis di Sekolah

27 Mei 2025   09:10 Diperbarui: 27 Mei 2025   09:10 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan guru terhadap siswa. Sumber: iStockphoto.com, ilustrasi oleh Mono.

Pelanggaran kode etik oleh guru BK tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat, tetapi juga pada reputasi dan integritas profesi bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Tindakan tersebut menuntut perhatian serius dan penanganan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan serta untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi ini.

Alternatif Solusi yang Bisa Dilakukan

Menurut Rahardjo & Kusmanto (2017), pemahaman dan penerapan kode etik profesi guru BK sangat penting untuk mencegah pelanggaran seperti kekerasan fisik. Dalam menghadapi kasus penamparan yang dialami oleh murid berinisial CY, beberapa alternatif solusi dapat diusulkan untuk menangani situasi ini secara praktis, etis, dan sesuai dengan prinsip-prinsip kode etik bimbingan dan konseling. Pertama, mengadakan mediasi terpadu yang melibatkan CY, orang tuanya, guru BK (ARM), pihak sekolah, dan fasilitator independen dapat membantu mencapai kesepakatan dan pemahaman bersama mengenai insiden yang terjadi. Ini akan memberikan kesempatan bagi CY untuk merasa didengar, sementara ARM dapat menjelaskan tindakannya dan belajar dari kesalahan. Selanjutnya, penyediaan layanan psikologis untuk CY sangat penting untuk membantunya mengatasi trauma akibat penamparan, yang pada gilirannya akan memperkuat kesejahteraan mentalnya dan mendukung hubungan keluarganya. 

Revisi kebijakan disiplin sekolah juga diperlukan untuk memastikan pendekatan yang digunakan dalam menangani masalah siswa bersifat konstruktif dan tidak melibatkan kekerasan. Hal ini akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman bagi siswa dan meningkatkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah. Selain itu, tindakan disiplin yang sesuai untuk ARM, seperti pelatihan ulang, akan memberikan kesempatan baginya untuk memahami konsekuensi dari tindakannya dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya. Terakhir, pendidikan dan pelatihan bagi staf sekolah mengenai pendekatan tidak kekerasan dalam mendisiplinkan siswa akan memperkuat norma-norma etika dalam profesi bimbingan dan konseling, menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan aman bagi semua siswa. Dengan menerapkan solusi-solusi ini, semua pihak dapat berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghargai hak-hak individu.

Kasus 2: Pelanggaran Kerahasiaan Informasi Konseli  

Kasus dugaan pemaksaan jilbab terjadi di SMAN 1 Banguntapan, Yogyakarta, di mana seorang siswi berusia 16 tahun mengalami depresi setelah diduga dipaksa mengenakan jilbab oleh guru Bimbingan dan Konseling (BK). Pada awalnya, siswi tersebut tidak mengenakan jilbab saat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan pada hari pertama sekolah. Ia dipanggil ke ruangan BK dan diinterogasi oleh tiga guru mengenai alasannya tidak mengenakan jilbab. Dalam interogasi tersebut, salah satu guru mengenakan jilbab ke kepala siswi, yang membuatnya merasa tertekan. Merasa dipojokkan, siswi tersebut meminta izin untuk ke toilet dan menangis selama satu jam di dalamnya. Reaksi keluarga muncul ketika ibu siswi, HA, mengetahui bahwa anaknya mengalami tekanan di sekolah. Ia melaporkan bahwa anaknya berulang kali ditanya mengapa tidak mengenakan jilbab dan merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. HA menegaskan bahwa pemaksaan ini tidak dapat dibenarkan dan meminta pihak sekolah untuk bertanggung jawab. Kepala Sekolah Agung Istiyanto membantah adanya pemaksaan, menyatakan bahwa hanya ada tutorial mengenai penggunaan jilbab, namun rekaman CCTV menunjukkan siswi hanya diam dan menunduk saat dikenakan jilbab. 

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengambil tindakan tegas dengan menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru yang terlibat, untuk menjaga semangat kebhinekaan di sekolah. Ia menegaskan bahwa pemaksaan jilbab melanggar keputusan Menteri Pendidikan dan tidak ada hubungannya dengan penilaian akreditasi sekolah. Setelah lebih dari seminggu, orangtua siswi dan pihak sekolah mencapai kesepakatan damai; meskipun demikian, siswi memilih untuk pindah sekolah atas saran psikolog. Saat ini, siswi didampingi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP2AP2) DIY. Ia menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meskipun masih membutuhkan waktu untuk kembali ke aktivitas sekolah. 

Berdasarkan deskripsi kasus diatas, tampak bahwa guru Bimbingan dan Konseling terlibat dalam tindakan pemaksaan penggunaan jilbab terhadap seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan, yang berujung pada tekanan psikologis berat hingga siswi mengalami depresi dan memilih untuk pindah sekolah. Tindakan interogatif berulang dan pemaksaan simbol keagamaan tanpa persetujuan jelas bertentangan dengan prinsip etika profesi konseling, terutama dalam hal menjunjung tinggi otonomi konseli dan menghormati martabat pribadi setiap individu. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriana & Syukur (2021), yang menyatakan bahwa salah satu pelanggaran yang paling sering terjadi dalam praktik konseling di sekolah adalah pemaksaan nilai pribadi konselor kepada konseli. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai bentuk ethical violation karena mereduksi hak konseli dalam menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Selain itu, dalam kajian yang disampaikan oleh Zakiah (2023), disebutkan bahwa masih banyak guru BK yang belum memahami secara menyeluruh isi kode etik profesi konselor, sehingga berisiko tinggi melakukan malpraktik dalam bentuk pemaksaan atau intimidasi terhadap siswa, terutama dalam hal yang berkaitan dengan keyakinan dan identitas pribadi siswa.

Dalam kasus tersebut terdapat beberapa pelanggaran kode etik profesi Bimbingan dan Konseling (BK) sebagai berikut: 

1. Menginterogasi siswi secara berulang dan menekan untuk mengenakan jilbab dapat dianggap sebagai tindakan yang merugikan secara psikologis, yang melanggar prinsip untuk tidak melakukan kekerasan fisik atau psikologis terhadap konseli dan ini melanggar UU No 20/2003 menjamin hak dan kewajiban peserta didik, termasuk perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi dalam proses pembelajaran (Soedibyo, 2003). 

2. Konselor seharusnya menghormati harkat dan martabat setiap individu. Hal ini sudah di tetapkan oleh (ABKIN, 2018) di mana konselor menyadari dan menghargai konseli sebagai individu dengan hak-hak pribadi dan kondisi latar multikulturalnya, dan perilaku yang dilakukan oleh Guru BK pada kasus ini yang berupa memaksa atau menekan siswi untuk mengenakan jilbab tidak menghargai hak individu dan pilihan pribadinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun