Dewi S. bukan nama artis. Ia tidak dikenal media nasional, dan tak pernah masuk daftar pengusaha sukses. Tapi jika kamu datang ke pasar kecil di sudut Kota Malang, banyak ibu-ibu penjual yang akan menyebut namanya dengan kagum. Karena dari teras rumah kontrakannya yang hanya tiga petak, Dewi memulai sesuatu yang banyak orang anggap mustahil, bangkit dari luka menjadi tumpuan bagi banyak orang.
Awal yang Pahit
Tiga minggu sebelum melahirkan anak pertamanya, suami Dewi pergi dan tak pernah kembali. "Katanya ke luar kota cari kerja. Ternyata pergi dengan perempuan lain," ucapnya pelan.
Dewi mengalami depresi pascamelahirkan. Tak ada penghasilan tetap. Orang tua pun sudah wafat. Untuk bertahan, ia mulai membuat kue kering dan menitipkannya ke warung. Hari-hari pertama penuh air mata. Tapi setiap kali melihat anaknya menangis karena susu habis, Dewi tahu: ia tidak punya pilihan selain bangkit.
Dapur Sederhana, Semangat Luar Biasa
Berbekal resep peninggalan almarhumah ibunya dan modal pinjaman dari tetangga, Dewi memproduksi kue kering dalam jumlah kecil. Ia bangun pukul 3 pagi, produksi sendiri, antar sendiri, bahkan mencetak label kemasan dengan spidol di plastik es lilin.
Tapi konsistensi membuahkan hasil. Dalam waktu setahun, kuenya mulai dikenal di sekolah-sekolah dan kantor kelurahan. Ia menamai produknya "Dapur Dewi" bukan karena ingin branding, tapi karena itulah kenyataannya semua dimulai dari dapur.
Jandapreneur yang Mengangkat Sekelilingnya
Hari ini, Dewi mempekerjakan lima ibu rumah tangga tetangganya, yang kebanyakan juga janda. Ia tak sekadar menggaji, tapi juga melatih. Bukan sekadar membagi kerja, tapi juga membangun harapan.
Bagi Dewi, bisnis bukan soal untung rugi semata. Ini soal memberi martabat kepada perempuan yang terlalu sering dipandang sebelah mata.
 "Kami ini sering dianggap lemah karena status kami. Tapi justru karena status itu kami belajar bertahan hidup dengan lebih keras dari siapa pun."
Melawan Stigma dengan Cinta dan Karya
Dewi mengaku, dulu ia sering mendengar bisik-bisik tetangga: "Janda muda, dagang-dagang, pasti cari perhatian." Tapi ia menanggapinya dengan senyuman dan terus bekerja. Lambat laun, suara sumbang itu berubah jadi pujian. Bahkan yang dulu meremehkan kini menitip jualan.
"Yang penting saya hidup jujur, halal, dan bisa buat anak saya bangga. Selebihnya, biarlah Allah yang nilai," katanya dengan mata berkaca.
Dewi Bukan Satu-Satunya
Dewi S. adalah wajah dari ribuan perempuan yang memilih untuk tidak menyerah. Ia mewakili gerakan sunyi bernama Jandapreneur dimana luka masa lalu diubah menjadi kekuatan untuk membangun masa depan.
Ia tidak menunggu diselamatkan. Ia justru menciptakan jalan keselamatan, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk orang lain juga.
Karena janda bukan akhir. Kadang itu justru awal dari hidup yang benar-benar bermakna.
Salam hormat untuk semua Jandapreneur di luar sana.
Ditulis oleh : Lutfillah Ulin Nuha, Pengagum Janda. Hehehe
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI