Di Indonesia, jangankan aturan hukum mengenai kidfluencer, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 71 tentang Ketenagakerjaan---yang salah satunya mengatur tentang jam kerja pekerja anak dalam industri hiburan---masih banyak dilanggar. Undang-undang yang mengatur tentang industri media dan kreatif juga tidak menata secara khusus perlindungan terhadap pekerja anak.
Amerika Serikat yang memiliki aturan hukum yang lebih jelas dan tegas tentang perlindungan pekerja anak dalam industri hiburan (diatur dalam Coogans Law) saja belum memasukkan poin "kidfluencer" dalam peraturan perundang-undangannya.
Risiko yang Mengintai Kidfluencer
Di Amerika Serikat, kekayaan kidfluencer telah menjadi topik hangat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.Â
Sebut saja, Ryan, bocah berusia tujuh tahun yang rutin tampil dalam akun Ryan Toys Review. Ia dinobatkan sebagai kidfluencer terkaya pada tahun 2018 dengan total pendapatan mencapai $22 juta setahun.
Lain lagi dengan kidfluencer kembar, Taytum dan Oakley, yang mampu mengantongi $10.000-$20.000 untuk satu unggahan di Instagram. Bila perusahaan ingin produknya tampil di akun YouTube, honornya akan naik jadi $25.000-$50.000 per tayangan.
Berbagai perusahaan dengan target pasar balita dan anak-anak lebih suka membayar influencer untuk kepentingan pemasaran daripada memasang iklan di TV yang ratingnya semakin buruk.
Selain itu, influencer memiliki banyak pengikut, proses pengunggahan konten lebih cepat ketimbang pembuatan iklan dan cara influencer dalam mengulas produk yang seperti memberi rekomendasi pada teman, membuat perusahan kini lebih tertarik menggandeng influencer.
Secara keseluruhan, influencer marketing dari segala usia diproyeksikan mengalami pertumbuhan hingga $15 miliar pada tahun 2022 dan jumlah kidfluencer juga diperikirakan akan meningkat.
Namun di balik penghasilan fantastis dan popularitas yang berhasil diraup ini, para kidfluencers rentan terhadap beberapa risiko berikut.
Pertama, eksploitas anak