Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memahami Risiko di Balik Popularitas "Kidfluencer"

23 Juli 2021   10:28 Diperbarui: 23 Juli 2021   13:33 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tren anak menjadi influencer| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Kita pasti familiar dengan anak-anak yang wara-wiri menghiasi layar kaca. Ada yang berakting dalam sinetron, film, menjadi bintang iklan, menyanyi, dan membawakan acara anak-anak.

Kemajuan zaman telah mendisrupsi dunia hiburan. Jika dulu orang yang ingin jadi artis terkenal harus ikut casting atau audisi sana-sini dan kehidupan antara sang idola dengan penggemar terasa "berjarak". Sekarang jarak antara idola dan peggemar seolah kian dekat dengan adanya media sosial. 

Kita dapat mengetahui keseharian atau kehidupan pribadi idola lewat unggahan-unggahannya di media sosial. Banyak pula dari mereka yang memanfaatkan media sosial, seperti Instagram dan YouTube, untuk mendulang cuan.

Beberapa pesohor Tanah Air bahkan kerap menjadikan kelucuan dan kepolosan anak-anak mereka sebagai bahan konten. Sebut saja Rafathar, putra Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang kesehariannya (termasuk ketika sang anak di-prank oleh orang-orang dewasa di sekitarnya) sering dijadikan konsumsi publik melalui kanal YouTube Rans Entertainment.

Hal ini membuat si anak turut mendapat sorotan dan popularitas sejak dini. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan influencer (pemengaruh) anak-anak atau lazim dikenal sebagai kidfluencer.

ilustrasi kidfluencer atau influencer anak-anak | sumber gambar: Highwaystarz-Photography/iStock via adweek.com
ilustrasi kidfluencer atau influencer anak-anak | sumber gambar: Highwaystarz-Photography/iStock via adweek.com

Mengenal Kidfluencer dan Areanya yang Abu-Abu

Kidfluencer dapat diartikan sebagai anak-anak yang memiliki banyak pengikut (followers) dan pemirsa (viewers) di media sosial dan meraup sejumlah keuntungan dari konten bersponsor.

Sebagian besar platform media sosial menerapkan batas usia minimal 13 tahun atau lebih untuk bisa punya akun pribadi. Oleh karena itu, akun-akun sosial media milik kidfluencer biasanya dikelola oleh orangtuanya.

Fenomena kidfluencer ini berada pada area "abu-abu" (grey area) antara "bekerja" atau "aktivitas biasa di rumah yang dilakukan di depan kamera lalu dijadikan konten". Karena dalam kasus kidfluencer dianggap tidak ada relasi antara "pihak yang mempekerjakan" dan "pihak yang dipekerjakan" (employer-employee relations), seperti yang terjadi pada industri hiburan yang mempekerjakan entertainer anak-anak.

Belum ada aturan yang jelas dan tegas mengatur perihal kidfluencer ini, baik itu di Indonesia maupun di luar negeri.

Di Indonesia, jangankan aturan hukum mengenai kidfluencer, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 71 tentang Ketenagakerjaan---yang salah satunya mengatur tentang jam kerja pekerja anak dalam industri hiburan---masih banyak dilanggar. Undang-undang yang mengatur tentang industri media dan kreatif juga tidak menata secara khusus perlindungan terhadap pekerja anak.

Amerika Serikat yang memiliki aturan hukum yang lebih jelas dan tegas tentang perlindungan pekerja anak dalam industri hiburan (diatur dalam Coogans Law) saja belum memasukkan poin "kidfluencer" dalam peraturan perundang-undangannya.

Risiko yang Mengintai Kidfluencer

ilustrasi anak yang terkena gangguan psikososial | sumber gambar : shutterstock diunggah via liputan6.com
ilustrasi anak yang terkena gangguan psikososial | sumber gambar : shutterstock diunggah via liputan6.com

Di Amerika Serikat, kekayaan kidfluencer telah menjadi topik hangat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. 

Sebut saja, Ryan, bocah berusia tujuh tahun yang rutin tampil dalam akun Ryan Toys Review. Ia dinobatkan sebagai kidfluencer terkaya pada tahun 2018 dengan total pendapatan mencapai $22 juta setahun.

Lain lagi dengan kidfluencer kembar, Taytum dan Oakley, yang mampu mengantongi $10.000-$20.000 untuk satu unggahan di Instagram. Bila perusahaan ingin produknya tampil di akun YouTube, honornya akan naik jadi $25.000-$50.000 per tayangan.

Berbagai perusahaan dengan target pasar balita dan anak-anak lebih suka membayar influencer untuk kepentingan pemasaran daripada memasang iklan di TV yang ratingnya semakin buruk.

Selain itu, influencer memiliki banyak pengikut, proses pengunggahan konten lebih cepat ketimbang pembuatan iklan dan cara influencer dalam mengulas produk yang seperti memberi rekomendasi pada teman, membuat perusahan kini lebih tertarik menggandeng influencer.

Secara keseluruhan, influencer marketing dari segala usia diproyeksikan mengalami pertumbuhan hingga $15 miliar pada tahun 2022 dan jumlah kidfluencer juga diperikirakan akan meningkat.

Namun di balik penghasilan fantastis dan popularitas yang berhasil diraup ini, para kidfluencers rentan terhadap beberapa risiko berikut.

Pertama, eksploitas anak

Dalam Coogans Law, misalnya, ada aturan yang mewajibkan orangtua atau siapapun yang bertanggung jawab atas jasa si anak untuk menyisihkan 15% dari total pendapatan sebagai tabungan yang berhak dinikmati oleh anak ketika ia sudah dewasa.

Sayangnya, aturan tersebut belum bisa diterapkan bagi kidfluencer karena aktivitas mereka dianggap tidak seperti aktivitas syuting film/iklan/teater. Aturan tersebut hanya berlaku bagi aktor/aktris, penari, musisi atau penampil anak. 

Inilah yang saya sebut sebelumnya sebagai "area yang abu-abu".

Jika orangtua dari kidfluencer tidak bijak, bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan popularitas sang anak dan menjadikannya sebagai mesin uang karena merasa apa yang mereka lakukan tidak akan dikenakan sanksi hukum.

Kedua, menjadi sasaran tindak kejahatan

Foto-foto atau video-video keseharian anak yang diunggah di media sosial kadang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, seperti penipuan, perdagangan anak dan pedofilia. Mereka bisa saja menguntit anak-anak itu di dunia nyata.

Ketiga, gangguan psikososial

Menurut psikolog anak, Dr. Rose Minie Agoes Salim, dalam YouTube Narasi Newsroom "Bukan Cuma Rafathar: Pahami Risiko Jika Anak Jadi Kidfluencer", mengatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh nature dan nurture. Nature bersifat alamiah, diciptakan oleh Tuhan. Sementara nurture dibentuk oleh lingkungan, gizi, stimulasi, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan stimulasi, anak yang menerima stimulasi negatif, perilakunya akan negatif juga.

Misalnya, si anak yang sering di-prank (dijahili) oleh orangtua atau orang-orang dewasa di sekitarnya kemudian dijadikan konten. Meski anak itu marah dan menangis, mereka akan menganggapnya lucu. Bahkan malah tambah dijahili. 

Jika seperti ini terus, lama-lama anak akan tumbuh menjadi pemarah dan agresif. Di kemudian hari, bukan tidak mungkin jika anak akan mengalami gangguan psikososial dan bersikap serupa pada teman-teman seusianya.

Wasana Kata

Walaupun cara kerja kidfluencer berbeda dengan pekerja anak di industri hiburan pada umumnya, bukan berarti mereka bebas dari risiko dan ancaman eksploitasi, kejahatan dan gangguan psikososial.

Perlu ada regulasi yang dengan tegas mengatur perlindungan terhadap hak-hak para "bintang cilik" ini, termasuk di dalamnya mencakup kidfluencer. 

Karena biar bagaimanapun, mereka masih anak-anak yang punya hak untuk berpendidikan, bermain, beristirahat dan sebagainya yang mendukung tumbuh kembang mereka, baik secara fisik, mental maupun spiritual. 

Jangan sampai popularitas mereka malah dimanfaatkan oleh orangtuanya sebagai mesin uang.

Lalu, para orangtua yang ngebet pengen anaknya terkenal sejak dini, semoga lebih peduli dan pandai menjaga privasi anak. Ada kalanya anak asyik dengan dunianya sendiri. Ada kalanya anak tidak ingin diajak berfoto atau tampil dalam video.

Orangtua bisa menanyakan terlebih dulu pada anak, apakah ia mau difoto atau tampil dalam video atau tidak. Kalau anak tidak mau, jangan dipaksa.

Nah, para K-ner sekalian---khususnya yang telah menjadi orangtua---jika Anda punya pandangan lain terkait fenomena kidfluencer atau ingin menambahkan, silakan bagikan di kolom komentar. 

Semoga bermanfaat. 

Referensi : 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun