Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memahami Risiko di Balik Popularitas "Kidfluencer"

23 Juli 2021   10:28 Diperbarui: 23 Juli 2021   13:33 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tren anak menjadi influencer| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Dalam Coogans Law, misalnya, ada aturan yang mewajibkan orangtua atau siapapun yang bertanggung jawab atas jasa si anak untuk menyisihkan 15% dari total pendapatan sebagai tabungan yang berhak dinikmati oleh anak ketika ia sudah dewasa.

Sayangnya, aturan tersebut belum bisa diterapkan bagi kidfluencer karena aktivitas mereka dianggap tidak seperti aktivitas syuting film/iklan/teater. Aturan tersebut hanya berlaku bagi aktor/aktris, penari, musisi atau penampil anak. 

Inilah yang saya sebut sebelumnya sebagai "area yang abu-abu".

Jika orangtua dari kidfluencer tidak bijak, bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan popularitas sang anak dan menjadikannya sebagai mesin uang karena merasa apa yang mereka lakukan tidak akan dikenakan sanksi hukum.

Kedua, menjadi sasaran tindak kejahatan

Foto-foto atau video-video keseharian anak yang diunggah di media sosial kadang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, seperti penipuan, perdagangan anak dan pedofilia. Mereka bisa saja menguntit anak-anak itu di dunia nyata.

Ketiga, gangguan psikososial

Menurut psikolog anak, Dr. Rose Minie Agoes Salim, dalam YouTube Narasi Newsroom "Bukan Cuma Rafathar: Pahami Risiko Jika Anak Jadi Kidfluencer", mengatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh nature dan nurture. Nature bersifat alamiah, diciptakan oleh Tuhan. Sementara nurture dibentuk oleh lingkungan, gizi, stimulasi, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan stimulasi, anak yang menerima stimulasi negatif, perilakunya akan negatif juga.

Misalnya, si anak yang sering di-prank (dijahili) oleh orangtua atau orang-orang dewasa di sekitarnya kemudian dijadikan konten. Meski anak itu marah dan menangis, mereka akan menganggapnya lucu. Bahkan malah tambah dijahili. 

Jika seperti ini terus, lama-lama anak akan tumbuh menjadi pemarah dan agresif. Di kemudian hari, bukan tidak mungkin jika anak akan mengalami gangguan psikososial dan bersikap serupa pada teman-teman seusianya.

Wasana Kata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun