Dalam Coogans Law, misalnya, ada aturan yang mewajibkan orangtua atau siapapun yang bertanggung jawab atas jasa si anak untuk menyisihkan 15% dari total pendapatan sebagai tabungan yang berhak dinikmati oleh anak ketika ia sudah dewasa.
Sayangnya, aturan tersebut belum bisa diterapkan bagi kidfluencer karena aktivitas mereka dianggap tidak seperti aktivitas syuting film/iklan/teater. Aturan tersebut hanya berlaku bagi aktor/aktris, penari, musisi atau penampil anak.Â
Inilah yang saya sebut sebelumnya sebagai "area yang abu-abu".
Jika orangtua dari kidfluencer tidak bijak, bukan tidak mungkin mereka akan memanfaatkan popularitas sang anak dan menjadikannya sebagai mesin uang karena merasa apa yang mereka lakukan tidak akan dikenakan sanksi hukum.
Kedua, menjadi sasaran tindak kejahatan
Foto-foto atau video-video keseharian anak yang diunggah di media sosial kadang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, seperti penipuan, perdagangan anak dan pedofilia. Mereka bisa saja menguntit anak-anak itu di dunia nyata.
Ketiga, gangguan psikososial
Menurut psikolog anak, Dr. Rose Minie Agoes Salim, dalam YouTube Narasi Newsroom "Bukan Cuma Rafathar: Pahami Risiko Jika Anak Jadi Kidfluencer", mengatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh nature dan nurture. Nature bersifat alamiah, diciptakan oleh Tuhan. Sementara nurture dibentuk oleh lingkungan, gizi, stimulasi, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan stimulasi, anak yang menerima stimulasi negatif, perilakunya akan negatif juga.
Misalnya, si anak yang sering di-prank (dijahili) oleh orangtua atau orang-orang dewasa di sekitarnya kemudian dijadikan konten. Meski anak itu marah dan menangis, mereka akan menganggapnya lucu. Bahkan malah tambah dijahili.Â
Jika seperti ini terus, lama-lama anak akan tumbuh menjadi pemarah dan agresif. Di kemudian hari, bukan tidak mungkin jika anak akan mengalami gangguan psikososial dan bersikap serupa pada teman-teman seusianya.