Mas Dab membuka halaman pertama. "Di sini ada kata pengantar tentang definisi discourse. Katanya, discourse itu soal cara bagaimana makna dibangun di dalam masyarakat."
Mas Gondez tertawa seolah paham. "Oh... ini buku tentang cara orang memberi makna pada sesuatu. Keren juga nih. Kita bisa pelajari buku ini biar tahu lebih dalam tentang fenomena sosial."
Mas Dab mengangguk. "Bener. Kayak waktu kita ngobrol soal isu-isu di kampung kita. Setiap orang punya pandangan sendiri tentang apa yang terjadi."
Mas Gondez menambahkan. "Dan itu bisa jadi cermin dari sistem sosial yang lebih besar."
Mas Dab menunjukkan halaman lain. "Di sini juga ada bab tentang Saussure, Structuralism, dan Post-structuralism. Katanya tentang bagaimana bahasa dan simbol membentuk realitas sosial."
Mas Gondez makin ingin tahu, lalu mengambil buku itu dari tangan Mas Dab. "Wah, ini kayak buku teori tingkat lanjut. Apa kita bisa paham soal-soal inj?"
Mas Dab tersenyum. "Kalo kita pelan-pelan belajarnya pasti bisa. Kita kan bisa mulai dari bab pertama tentang definisi discourse."
Mas Gondez mengangguk. "Bagus. Nanti kita bisa diskusi bareng-bareng. Kita juga bisa undang Mas Ang buat bantu ngertiin bagian yang susah."
Mas Dab menutup buku itu. "Setuju. Aku rasa ini bakal nambah wawasan kita tentang kenapa dan bagaimana masyarakat kita memaknai isu-isu sosial secara berbeda."
Mereka segera membayar buku itu kepada pemilik toko yang sudah tua dan ramah. Pemilik toko itu menceritakan bahwa buku itu sudah lama ada di tokonya dan jarang ada yang tertarik padanya.
"Padahal isinya sangat menarik," kata Mas Dab sambil menyimpan buku itu di tas. Keluar dari toko, mereka berjalan menuju kafe kecil di seberang jalan untuk mulai membaca buku itu.Â