Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demokrasi Rasa Kerajaan

7 Maret 2025   23:19 Diperbarui: 7 Maret 2025   23:19 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Exactly!" Rara menjentikkan jari. "Kita punya pemilu reguler, sistem check and balance, lembaga pengawas, tapi praktiknya? Politik dinasti malah makin dominan dan menyebar. Ironis to?"

"Yang bikin sedih," Bayu menambahkan, "media malah sering normalisasi ini. Mereka lebih fokus ke drama suksesinya, bukan ke dampak buruknya buat demokrasi."

Lina, yang baru saja selesai menganalisis pemberitaan media tentang politik dinasti, mengangguk. "Benar. Jarang ada media yang ngomongin gimana politik dinasti ini bikin inovasi mandek, korupsi merajalela, sama pelayanan publik hancur."

"Terus solusinya apa dong?" tanya Tono, setengah frustrasi.

"Reformasi sistem pemilu jelas," jawab Rara. "Tapi yang lebih penting, kesadaran politik masyarakat harus ditingkatkan."

"Dan civil society harus lebih vokal," tambah mas Dab. "NGO, akademisi, aktivis, harus berani nyuarain bahaya politik dinasti ini."

Ketika jam menunjukkan pukul 9 malam, diskusi pelan-pelan mereda. Di luar, hujan Melbourne masih turun, seolah ikut murung memikirkan nasib demokrasi Indonesia.

"Setidaknya kita masih punya harapan," kata mas Dab sambil membereskan meja. "Masih ada anak muda yang peduli dan mau berpikir kritis."

"Ya, dan kita yang harus mulai gerakannya," tambah Rara. "Masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan kita."

Mereka berpisah dengan pikiran berkecamuk. Entah kapan Indonesia bisa meninggalkan demokrasi yang cacat ini.

Di negeri yang katanya demokratis, politik masih dijalankan dengan cara feodal. Tapi seperti kata mas Dab, selama masih ada yang peduli dan berani bersuara, harapan belum hilang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun