Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Job Hugging ASN, Stabilitas Karier atau Ancaman Reformasi Birokrasi?

15 September 2025   07:01 Diperbarui: 15 September 2025   14:58 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ASN. (Sumber: SHUTTERSTOCK/WIBISONO.ARI via KOMPAS.com) 

Dalam beberapa bulan terakhir, istilah job hugging semakin sering terdengar di ruang publik. Fenomena ini merujuk pada kecenderungan pekerja untuk bertahan di pekerjaan yang dimiliki, meskipun merasa tidak puas atau tidak lagi berkembang. 

Awalnya istilah ini ramai diperbincangkan di Amerika Serikat setelah data Departemen Tenaga Kerja AS pada Agustus 2025 menunjukkan tingkat pekerja yang berhenti secara sukarela hanya sekitar 2 persen---angka terendah sejak 2016 di luar masa pandemi Covid-19 (CNBC, 2025). Fenomena ini kemudian dibicarakan lebih luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, konsep job hugging lebih menarik lagi ketika dikaitkan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN dikenal memiliki stabilitas karier yang relatif lebih terjamin dibandingkan pekerja sektor swasta. 

Posisi yang sulit digoyahkan, sistem pensiun yang pasti, dan status sosial yang relatif stabil membuat ASN menjadi kelompok yang rentan terjebak dalam pola bertahan atau job hugging. Namun, apakah kondisi ini harus dipandang sebagai keuntungan atau justru hambatan bagi reformasi birokrasi?

Pertanyaan ini relevan mengingat Indonesia tengah berupaya mempercepat transformasi birokrasi. Pemerintah mendorong digitalisasi layanan publik dan menekankan profesionalisme ASN agar mampu menjawab tantangan zaman.

Jika fenomena job hugging meluas di kalangan ASN, apakah birokrasi akan semakin kuat karena stabilitasnya, atau justru semakin sulit berubah karena stagnasi yang ditimbulkannya?

Definisi dan Fenomena Job Hugging 

Job hugging secara sederhana adalah tindakan mempertahankan pekerjaan yang ada selama mungkin, meskipun kondisi lingkungan kerja tidak selalu menyenangkan. Menurut Korn Ferry, konsultan manajemen global, fenomena ini lahir dari ketidakpastian ekonomi dan pasar kerja. 

Para pekerja lebih memilih bertahan daripada mengambil risiko kehilangan penghasilan, meskipun pekerjaan mereka tidak lagi memberikan kepuasan.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tidak hanya terjadi di sektor swasta. ASN juga memperlihatkan pola yang serupa. Perbedaan mencolok terletak pada tingkat keamanan kerja. 

Jika pekerja swasta masih menghadapi ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ketika kinerja menurun atau perusahaan bangkrut, ASN berada dalam posisi yang jauh lebih aman.

Undang-Undang ASN dan sistem kepegawaian membuat pemutusan hubungan kerja ASN sangat jarang terjadi kecuali melalui mekanisme hukum yang panjang.

Data ekonomi nasional menunjukkan alasan rasional di balik fenomena ini. Bank Indonesia pada Agustus 2025 merilis Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang turun menjadi 105,1, terendah sejak April 2022. 

Penurunan itu terutama disebabkan oleh melemahnya Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK), yang berada di level 93,2 dan masuk ke zona pesimistis selama empat bulan berturut-turut (Bank Indonesia, 2025). 

Dengan kondisi ini, wajar jika banyak pekerja, termasuk ASN, memilih bertahan daripada mencari peluang baru.

Selain faktor eksternal, job hugging di kalangan ASN juga dipengaruhi budaya organisasi yang menekankan stabilitas. Banyak ASN merasa lebih aman bertahan meskipun sudah tidak nyaman dengan pekerjaannya, atasannya, atau lingkungan birokrasi. 

Seperti diungkapkan oleh Haryo Suryosumarto, pendiri Headhunter Indonesia, banyak kandidat profesional di Indonesia melakukan job hugging meskipun mereka sebenarnya tidak bahagia di tempat kerjanya (Kompas, 12 September 2025). Hal ini bisa diperluas pada ASN yang juga menghadapi dilema serupa.

Dari sini terlihat bahwa job hugging pada ASN bukan sekadar fenomena individual, melainkan mencerminkan perpaduan antara faktor ekonomi nasional, regulasi kepegawaian, dan kultur birokrasi. Pertanyaannya, apakah ini lebih banyak mendatangkan manfaat atau justru masalah baru bagi negara?

Stabilitas Karier: Sisi Positif Job Hugging ASN 

Dari sisi tertentu, job hugging pada ASN memiliki aspek positif. Keputusan ASN untuk bertahan di posisinya menjaga keberlangsungan pelayanan publik, terutama di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. 

ASN tetap hadir di kantor dan menjalankan tugas administratif, sehingga roda birokrasi tetap berjalan. Stabilitas ini menjadi modal penting agar negara tetap mampu memberikan layanan dasar bagi masyarakat.

Dalam kondisi krisis, keberadaan ASN yang stabil justru menjadi penopang. Bayangkan jika ASN memiliki mobilitas setinggi pekerja swasta, di mana gelombang resign massal bisa terjadi ketika ekonomi bergejolak. Hal tersebut tentu akan mengganggu keberlangsungan pelayanan publik.

Oleh karena itu, job hugging dapat dipandang sebagai bentuk loyalitas terhadap institusi, meskipun motivasinya seringkali lebih bersifat defensif daripada proaktif.

Selain itu, stabilitas ASN melalui job hugging juga memberikan efek domino pada sistem sosial. ASN dikenal sebagai kelompok masyarakat dengan pendapatan tetap, sehingga kehadiran mereka berkontribusi pada daya beli di tengah masyarakat. 

Dalam situasi ekonomi sulit, daya beli ASN membantu menjaga stabilitas konsumsi domestik, yang merupakan pilar penting pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Job hugging ASN juga dapat dilihat sebagai strategi adaptif menghadapi perubahan. Banyak ASN yang menyadari bahwa kondisi pasar kerja di luar birokrasi tidak selalu ramah.

Dengan bertahan, mereka memiliki waktu untuk mengembangkan keterampilan baru atau menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi di dalam sistem birokrasi. Jika dimanfaatkan dengan bijak, masa bertahan ini bisa menjadi periode persiapan untuk bertransformasi.

Dalam konteks reformasi birokrasi, stabilitas yang lahir dari job hugging bisa dipandang sebagai pondasi. Pemerintah memiliki basis pegawai yang relatif stabil untuk dijadikan target program pelatihan dan digitalisasi. 

Tanpa stabilitas itu, reformasi bisa lebih sulit karena tingginya mobilitas pegawai. Dengan demikian, job hugging bisa menjadi peluang, bukan semata ancaman.

Namun, sisi positif ini hanya berlaku jika ASN yang melakukan job hugging tetap memiliki semangat untuk berkembang. Jika sebaliknya, fenomena ini justru berubah menjadi hambatan yang serius.

Ancaman Reformasi Birokrasi: Sisi Negatif Job Hugging ASN 

Di balik sisi positifnya, job hugging di kalangan ASN juga menyimpan potensi masalah besar. Salah satu yang paling jelas adalah stagnasi kinerja. 

ASN yang bertahan hanya demi rasa aman atau menunggu pensiun cenderung kehilangan motivasi untuk berinovasi. Mereka hadir di kantor, tetapi kontribusi nyata yang diberikan minim. Kondisi ini bisa menurunkan produktivitas birokrasi secara keseluruhan.

Fenomena ini juga bisa menghambat transformasi digital. Pemerintah saat ini gencar mendorong digitalisasi layanan publik, mulai dari administrasi kependudukan hingga pelayanan perizinan. 

Namun, ASN yang terlalu nyaman dalam pola lama mungkin enggan untuk belajar teknologi baru. Akibatnya, implementasi digitalisasi berjalan lambat dan masyarakat tidak segera merasakan manfaatnya.

Budaya job hugging juga dapat menciptakan birokrasi yang resisten terhadap perubahan. ASN yang terbiasa dengan keamanan kerja bisa bersikap defensif terhadap kebijakan baru. 

Mereka melihat reformasi bukan sebagai peluang, melainkan sebagai ancaman terhadap kenyamanan yang sudah lama dinikmati. Dalam jangka panjang, sikap ini bisa melahirkan resistensi struktural yang menghambat efektivitas kebijakan publik.

Dari sisi fiskal, job hugging yang hanya berorientasi pada bertahan tanpa kinerja maksimal bisa menjadi beban bagi negara. Anggaran negara terus dialokasikan untuk membayar gaji, tunjangan, dan pensiun ASN, tetapi output yang dihasilkan tidak sebanding. 

Hal ini tentu merugikan masyarakat yang berhak mendapatkan pelayanan publik yang optimal.

Tidak sedikit pula ASN yang bertahan hanya untuk menunggu hak pensiun. Fenomena ini mirip dengan "parkir karier," di mana seseorang tidak lagi memiliki semangat kerja, tetapi hadir setiap hari demi formalitas. Jika jumlahnya besar, maka birokrasi akan dipenuhi oleh pegawai pasif yang justru memperlambat roda organisasi.

Selain itu, gap generasi antara ASN senior dan junior semakin memperparah situasi. ASN muda yang bersemangat kadang merasa terhambat oleh senior yang sudah terlalu nyaman dengan pola lama. Hal ini bisa memunculkan konflik generasi di lingkungan birokrasi, yang akhirnya membuat kinerja tim tidak maksimal.

Oleh karena itu, meskipun job hugging memberikan stabilitas, sisi negatifnya berpotensi merusak tujuan besar reformasi birokrasi yang menuntut ASN lebih adaptif, profesional, dan inovatif.

Perspektif Psikologis dan Kultural 

Fenomena job hugging pada ASN juga perlu dilihat dari sudut pandang psikologis dan kultural. Bagi banyak ASN, pekerjaan bukan hanya soal penghasilan, tetapi juga identitas sosial. 

Status ASN masih dipandang prestisius di masyarakat, sehingga bertahan dalam posisi tersebut memberi rasa aman, baik secara ekonomi maupun sosial.

Namun, rasa aman ini seringkali berubah menjadi jebakan zona nyaman. ASN merasa tidak perlu lagi mengembangkan keterampilan baru karena posisinya dianggap sudah terjamin. 

Secara psikologis, kondisi ini bisa menciptakan rasa puas semu, padahal di dalamnya terdapat kebosanan dan kejenuhan. Akhirnya, banyak ASN bertahan bukan karena mencintai pekerjaannya, tetapi karena takut kehilangan status dan keamanan.

Budaya birokrasi di Indonesia yang cenderung hierarkis juga memperkuat fenomena job hugging. Pegawai seringkali lebih memilih bertahan mengikuti arus daripada tampil berbeda dengan ide-ide baru yang bisa menimbulkan risiko. Konformitas ini membuat banyak ASN menekan kreativitas mereka sendiri demi menjaga stabilitas posisi.

Perspektif kultural ini kontras dengan tuntutan zaman. Di era digital, masyarakat menuntut layanan publik yang cepat, transparan, dan inovatif. Jika ASN terlalu larut dalam budaya job hugging, maka kesenjangan antara harapan masyarakat dan kinerja birokrasi akan semakin melebar.

Dengan kata lain, fenomena job hugging di kalangan ASN bukan hanya soal ekonomi atau regulasi, tetapi juga mentalitas dan budaya kerja yang perlu dibenahi.

Jalan Tengah: Dari Job Hugging ke Job Crafting 

Menyikapi fenomena ini, salah satu jalan tengah yang bisa ditempuh adalah mendorong ASN untuk melakukan job crafting. Konsep ini mengacu pada upaya individu untuk memaknai ulang pekerjaannya, menemukan ruang untuk berinovasi, dan menciptakan nilai baru dalam rutinitas sehari-hari. 

Dengan begitu, bertahan di pekerjaan tidak lagi identik dengan stagnasi, tetapi menjadi peluang untuk berkembang.

Job crafting bisa dimulai dari hal sederhana, seperti mencari cara baru untuk menyelesaikan tugas administrasi atau meningkatkan kualitas interaksi dengan masyarakat. 

ASN yang melakukan job crafting akan menemukan kepuasan batin meskipun secara formal posisinya tetap sama. Hal ini juga sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang mendorong pelayanan publik lebih humanis dan efisien.

Pemerintah memiliki peran besar dalam mendorong perubahan ini. Program pelatihan, insentif berbasis kinerja, serta sistem reward--punishment yang adil dapat menjadi pemicu agar ASN yang job hugging terdorong untuk lebih produktif. Jika ASN merasa upaya mereka diapresiasi secara nyata, motivasi kerja akan meningkat.

Selain itu, pemanfaatan teknologi digital harus terus digalakkan. ASN yang terbiasa dengan pola lama perlu diberikan pendampingan agar tidak merasa tertinggal. Transformasi digital tidak boleh hanya dipandang sebagai kebijakan struktural, tetapi juga sebagai ruang bagi ASN untuk mengembangkan keterampilan baru.

Dengan pendekatan seperti ini, fenomena job hugging tidak lagi menjadi penghambat, tetapi bisa diubah menjadi pijakan untuk menciptakan birokrasi yang lebih inovatif dan responsif.

Penutup 

Fenomena job hugging di kalangan ASN memang memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia menjadi penopang stabilitas birokrasi dan pelayanan publik. Namun, di sisi lain, jika dibiarkan tanpa arah, ia bisa berubah menjadi ancaman serius bagi reformasi birokrasi.

Jawabannya bergantung pada bagaimana ASN dan pemerintah mengelola situasi ini. Jika job hugging hanya melahirkan zona nyaman, maka stagnasi akan mendominasi. Tetapi jika masa bertahan dimanfaatkan untuk berinovasi dan beradaptasi, maka birokrasi justru akan semakin kuat.

Pada akhirnya, ASN bukan sekadar profesi yang aman, melainkan garda depan pelayanan publik. Tugas mereka bukan hanya hadir, tetapi juga memberikan solusi.

Job hugging seharusnya tidak menjadi alasan untuk berhenti berkembang, melainkan kesempatan untuk menemukan makna baru dalam pengabdian kepada masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun