Pandangan masyarakat soal alkoholisme terus berubah. Dahulu, orang menganggapnya sebuah aib. Ini dianggap sebuah kelemahan moral.Â
Pecandu alkohol dicap pribadi buruk. Mereka dianggap tidak punya niat berhenti. Mereka dinilai kurang punya kemauan.Â
Kini, pandangan tersebut mulai bergeser. Dunia medis menegaskan satu hal. Alkoholisme adalah sebuah penyakit medis. Ini gangguan otak yang ilmiah.
Perubahan cara pandang ini penting. Langkah ini membantu mengurangi stigma. Stigma tersebut memang sangat menyakitkan.Â
Pecandu mungkin akan dipandang pasien. Mereka bukan lagi sampah masyarakat.Â
Namun, apakah ceritanya sesederhana itu? Apakah kita hanya perlu memilih saja? Antara masalah moral dan penyakit medis? Kenyataannya mungkin jauh lebih rumit.
Menyebutnya penyakit memang sangat beralasan. AMA mengakuinya sebagai penyakit (American Society of Addiction Medicine).Â
Mereka mengakuinya secara resmi sejak 1956. Pengakuan ini menjadi sebuah titik balik. Alkohol terbukti mengubah kerja otak. Ia merusak sistem saraf perlahan (Halodoc).Â
Zat ini mengganggu keseimbangan kimiawi. Keseimbangan itu mengatur perasaan manusia. Ia juga mengatur penilaian dan kendali diri.Â
Alkohol bisa merangsang pelepasan dopamin. Dopamin memberi rasa senang sesaat. Namun ia menekan fungsi otak lain. Karena itu orang sulit berhenti. Mereka sadar akan dampak buruknya. Otak mereka seolah telah dibajak. Ini fakta medis tak terbantahkan.
Namun, ada bahaya dari kesimpulan itu. Beberapa orang bisa merasa tidak berdaya. Mereka mungkin berpikir otak mereka rusak. Mereka merasa tidak bisa melakukan apa-apa. Ini dapat mematikan semangat juang mereka.Â