Pernahkah Anda berniat menolong orang asing di tempat umum, tapi justru mendapat tatapan curiga atau bahkan penolakan? Sebuah niat sederhana, misalnya menawarkan kursi di KRL atau membantu mengangkat barang, bisa berubah jadi momen canggung.Â
Alih-alih disambut dengan ucapan terima kasih, justru muncul kesan seakan bantuan itu punya maksud tersembunyi. Fenomena ini makin sering terjadi di kota-kota besar, terutama di tengah kehidupan urban yang serba terburu-buru dan penuh kewaspadaan.
Dulu, menolong orang adalah hal yang lumrah. Anak muda membantu orang tua menyebrang jalan, penumpang memberikan kursinya kepada ibu hamil, dan tetangga saling berbagi tanpa banyak pikir panjang.Â
Namun, di era modern, tindakan sederhana itu bisa dipandang aneh. Ada orang yang justru merasa tidak nyaman, bahkan takut, ketika seseorang yang tidak dikenalnya tiba-tiba bersikap baik.
Perubahan cara pandang terhadap kebaikan kecil ini menandakan adanya pergeseran sosial. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kasus-kasus kriminal, penipuan, dan pelecehan juga sering bermula dari momen "berpura-pura baik." Tak heran, sebagian orang memilih untuk menolak bantuan meskipun sebenarnya mereka sedang kesulitan.
Pertanyaannya kemudian, apakah random act of kindness masih relevan di zaman sekarang? Atau, apakah justru kebaikan kecil itu sedang menghadapi krisis kepercayaan?
Apa Itu Random Act of Kindness?
Random act of kindness, atau yang sering disingkat RAK, pada dasarnya adalah tindakan baik yang dilakukan secara spontan, tulus, dan tanpa pamrih. Tidak ada hubungan sebelumnya antara pemberi dan penerima, tidak ada pula kontrak sosial yang mengikat. Bentuknya bisa sangat sederhana, seperti memberikan jalan pada pejalan kaki, menahan pintu untuk orang lain, atau sekadar tersenyum pada orang asing di kereta.
Di banyak literatur psikologi sosial, RAK dipandang sebagai cara manusia membangun empati kolektif. Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh American Psychological Association (APA, 2018), tindakan kebaikan kecil mampu menurunkan tingkat stres penerimanya, dan secara tidak langsung meningkatkan rasa bahagia bagi si pemberi. Artinya, ada efek psikologis positif yang bekerja di kedua belah pihak.
Transportasi umum, khususnya KRL di Jabodetabek, sering menjadi ruang lahirnya tindakan-tindakan kecil ini. Kita sering mendengar kisah penumpang yang rela berdiri demi orang lain, atau mereka yang menolong anak kecil yang terpisah dari orang tuanya. Bahkan, dalam kondisi sesak sekalipun, masih ada orang yang mau meluangkan energi untuk membuat ruang agar penumpang lain bisa masuk.
Kisah-kisah semacam ini menjadi bukti bahwa kebaikan itu tidak harus besar. Justru, dalam situasi penuh tekanan, tindakan kecil yang tepat bisa menghadirkan rasa lega. Namun, di balik kisah indah itu, ada sisi lain yang mulai muncul: tidak semua orang mau menerima kebaikan tersebut. Ada yang menolak kursi yang ditawarkan, ada pula yang langsung curiga jika orang asing terlalu "ramah."