Tidak heran jika banyak orang kini memilih untuk menahan diri. Ketimbang menolong lalu disalahpahami, lebih aman pura-pura tidak tahu. Pilihan ini tentu menyedihkan, karena lama-lama bisa mematikan budaya empati. Namun, tidak bisa dipungkiri, kehati-hatian adalah mekanisme bertahan hidup di tengah masyarakat yang semakin kompleks.
Selain itu, faktor gender juga berperan. Laki-laki sering kali lebih rentan disalahpahami ketika membantu perempuan, terutama di ruang publik. Sebaliknya, perempuan juga bisa merasa canggung jika niat baiknya dianggap tidak pada tempatnya. Dinamika ini memperlihatkan betapa rapuhnya kepercayaan sosial kita saat ini.
Fenomena ini juga berhubungan dengan data tingkat kepercayaan sosial masyarakat Indonesia. Survei World Values Survey (2020) menunjukkan bahwa hanya sekitar 23% orang Indonesia yang percaya kepada orang asing.Â
Angka ini termasuk rendah dibanding beberapa negara lain di Asia. Data tersebut memberi gambaran bahwa kebaikan di ruang publik memang berhadapan dengan tembok ketidakpercayaan yang tebal.
Semakin kita menyadari kenyataan ini, semakin jelas bahwa random act of kindness kini membutuhkan strategi berbeda. Tidak cukup hanya bermodalkan niat baik, tetapi juga harus peka terhadap situasi dan kondisi.
Antara Tulus dan Hati-Hati
Dalam konteks sekarang, melakukan kebaikan memang tidak bisa lepas dari perhitungan. Niat tulus tetap harus diiringi dengan kehati-hatian. Kita perlu membaca situasi sebelum bertindak, agar kebaikan yang kita lakukan benar-benar sampai kepada penerima tanpa menimbulkan salah tafsir.
Misalnya, ketika ingin menawarkan kursi di KRL, sebaiknya lakukan dengan bahasa tubuh yang sopan. Tidak perlu memaksa atau menunjuk langsung, cukup berdiri dan memberi isyarat singkat. Dengan begitu, penerima bisa merasa lebih nyaman dan bebas memilih apakah ia ingin menerima atau menolak.
Selain itu, kita juga bisa memilih bentuk kebaikan yang lebih "aman." Contohnya, membantu menahan pintu agar penumpang lain bisa masuk, atau memberikan informasi arah jalur yang benar. Tindakan-tindakan seperti ini lebih jelas manfaatnya, sehingga kecil kemungkinan disalahpahami.
Di sisi lain, penting juga untuk memahami bahwa tidak semua orang siap menerima bantuan. Ada yang merasa tidak nyaman karena terbiasa mandiri, ada pula yang takut karena pengalaman buruk di masa lalu. Dalam kondisi seperti ini, menahan diri justru bisa menjadi bentuk kebaikan, karena kita menghormati batas pribadi orang lain.
Perlu disadari pula bahwa kebaikan tidak selalu harus "nampak besar." Kadang, sekadar tersenyum kepada orang asing atau memberi ruang lebih di kereta sudah cukup. Menurut studi yang dilakukan oleh University of California (Lyubomirsky, 2019), bahkan kebaikan sekecil itu mampu meningkatkan suasana hati penerima secara signifikan.
Dengan demikian, tantangan kita saat ini bukan hanya bagaimana tetap menebar kebaikan, tetapi juga bagaimana melakukannya dengan bijak. Random act of kindness harus menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, tanpa kehilangan esensi ketulusannya.