Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Random Act of Kindness: Antara Tulus, Risiko, dan Salah Paham

28 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 27 Agustus 2025   23:30 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasan dalam KRL. (KOMPAS.COM/ZINTAN PRIHATINI)

Pernahkah Anda berniat menolong orang asing di tempat umum, tapi justru mendapat tatapan curiga atau bahkan penolakan? Sebuah niat sederhana, misalnya menawarkan kursi di KRL atau membantu mengangkat barang, bisa berubah jadi momen canggung. 

Alih-alih disambut dengan ucapan terima kasih, justru muncul kesan seakan bantuan itu punya maksud tersembunyi. Fenomena ini makin sering terjadi di kota-kota besar, terutama di tengah kehidupan urban yang serba terburu-buru dan penuh kewaspadaan.

Dulu, menolong orang adalah hal yang lumrah. Anak muda membantu orang tua menyebrang jalan, penumpang memberikan kursinya kepada ibu hamil, dan tetangga saling berbagi tanpa banyak pikir panjang. 

Namun, di era modern, tindakan sederhana itu bisa dipandang aneh. Ada orang yang justru merasa tidak nyaman, bahkan takut, ketika seseorang yang tidak dikenalnya tiba-tiba bersikap baik.

Perubahan cara pandang terhadap kebaikan kecil ini menandakan adanya pergeseran sosial. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kasus-kasus kriminal, penipuan, dan pelecehan juga sering bermula dari momen "berpura-pura baik." Tak heran, sebagian orang memilih untuk menolak bantuan meskipun sebenarnya mereka sedang kesulitan.

Pertanyaannya kemudian, apakah random act of kindness masih relevan di zaman sekarang? Atau, apakah justru kebaikan kecil itu sedang menghadapi krisis kepercayaan?

Apa Itu Random Act of Kindness?

Random act of kindness, atau yang sering disingkat RAK, pada dasarnya adalah tindakan baik yang dilakukan secara spontan, tulus, dan tanpa pamrih. Tidak ada hubungan sebelumnya antara pemberi dan penerima, tidak ada pula kontrak sosial yang mengikat. Bentuknya bisa sangat sederhana, seperti memberikan jalan pada pejalan kaki, menahan pintu untuk orang lain, atau sekadar tersenyum pada orang asing di kereta.

Di banyak literatur psikologi sosial, RAK dipandang sebagai cara manusia membangun empati kolektif. Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh American Psychological Association (APA, 2018), tindakan kebaikan kecil mampu menurunkan tingkat stres penerimanya, dan secara tidak langsung meningkatkan rasa bahagia bagi si pemberi. Artinya, ada efek psikologis positif yang bekerja di kedua belah pihak.

Transportasi umum, khususnya KRL di Jabodetabek, sering menjadi ruang lahirnya tindakan-tindakan kecil ini. Kita sering mendengar kisah penumpang yang rela berdiri demi orang lain, atau mereka yang menolong anak kecil yang terpisah dari orang tuanya. Bahkan, dalam kondisi sesak sekalipun, masih ada orang yang mau meluangkan energi untuk membuat ruang agar penumpang lain bisa masuk.

Kisah-kisah semacam ini menjadi bukti bahwa kebaikan itu tidak harus besar. Justru, dalam situasi penuh tekanan, tindakan kecil yang tepat bisa menghadirkan rasa lega. Namun, di balik kisah indah itu, ada sisi lain yang mulai muncul: tidak semua orang mau menerima kebaikan tersebut. Ada yang menolak kursi yang ditawarkan, ada pula yang langsung curiga jika orang asing terlalu "ramah."

Fenomena ini menarik karena memperlihatkan paradoks. Satu sisi, kita tahu bahwa kebaikan itu penting. Di sisi lain, kita juga takut jika kebaikan itu berujung salah paham. Konteks sosial yang berubah membuat definisi "tulus" tidak lagi sesederhana dulu.

Maka, penting untuk memahami bagaimana masyarakat memaknai RAK di era modern. Tidak cukup hanya melihat dari sisi moralitas, tetapi juga perlu melihat dari sisi kepercayaan sosial yang semakin rapuh.

Zaman Dulu: Kebaikan yang Disambut Hangat

Jika kita melihat ke belakang, kebaikan kecil di ruang publik dulu hampir selalu mendapat sambutan positif. Di kampung-kampung, anak-anak muda biasa membantu tetangga tanpa harus diminta. 

Membawakan belanjaan orang tua, membantu mendorong sepeda, atau sekadar menyapa dengan ramah, semuanya terasa natural dan tulus. Tidak ada rasa curiga yang berlebihan, karena kehidupan sosial saat itu dibangun di atas pondasi kepercayaan.

Transportasi umum juga memiliki atmosfer berbeda. Di era 80-90an, meskipun fasilitas masih terbatas, interaksi antarmanusia terasa lebih cair. Menawarkan kursi kepada orang tua dianggap kewajaran, bukan sesuatu yang aneh. Jika ada orang yang membantu, orang lain akan langsung mengucapkan terima kasih tanpa pikir panjang. Nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan masih begitu kuat.

Bahkan, tindakan sederhana seperti meminjamkan payung atau berbagi makanan sering dianggap hal yang biasa. Dalam banyak keluarga, anak-anak diajarkan untuk "selalu berbuat baik kepada siapa pun," dan nasihat itu dijalankan tanpa harus takut disalahpahami. Kebaikan dipandang sebagai sesuatu yang murni, bukan strategi, bukan pula manipulasi.

Suasana seperti ini menciptakan ruang sosial yang lebih ramah. Orang tidak perlu berpikir dua kali untuk membantu, dan penerima tidak perlu merasa ragu atau takut. Ada keyakinan bersama bahwa niat baik tidak membawa konsekuensi buruk. Sayangnya, kondisi semacam ini mulai bergeser seiring perkembangan zaman.

Zaman Sekarang: Risiko dan Salah Paham

Kini, melakukan kebaikan tidak selalu sesederhana dulu. Perubahan sosial, urbanisasi, dan maraknya kasus kriminal membuat masyarakat lebih waspada. Niat baik yang dulu dianggap normal, sekarang bisa dicurigai sebagai modus. Membantu orang asing, apalagi lawan jenis, sering kali menimbulkan persepsi berbeda. Ada rasa takut jika tindakan itu dianggap melecehkan atau memiliki maksud lain.

Kasus-kasus di media sosial memperlihatkan hal ini. Misalnya, ada cerita penumpang kereta yang berniat menawarkan kursi, tetapi justru ditolak dengan kasar karena penerima merasa "tidak butuh dikasihani." 

Ada pula kasus di mana seseorang menolong anak kecil yang hampir jatuh, tetapi malah dipandang seolah ingin berbuat jahat. Hal-hal semacam ini menciptakan trauma sosial bagi mereka yang sebenarnya berniat baik.

Lebih jauh lagi, era digital menambah lapisan risiko. Niat baik bisa direkam, diunggah, lalu dipelintir di media sosial. Sebuah video singkat bisa mengubah persepsi publik hanya dalam hitungan menit. Dalam kondisi ini, tindakan kecil yang sebenarnya tulus bisa berubah menjadi bahan cibiran atau bahkan viral dengan narasi yang salah.

Tidak heran jika banyak orang kini memilih untuk menahan diri. Ketimbang menolong lalu disalahpahami, lebih aman pura-pura tidak tahu. Pilihan ini tentu menyedihkan, karena lama-lama bisa mematikan budaya empati. Namun, tidak bisa dipungkiri, kehati-hatian adalah mekanisme bertahan hidup di tengah masyarakat yang semakin kompleks.

Selain itu, faktor gender juga berperan. Laki-laki sering kali lebih rentan disalahpahami ketika membantu perempuan, terutama di ruang publik. Sebaliknya, perempuan juga bisa merasa canggung jika niat baiknya dianggap tidak pada tempatnya. Dinamika ini memperlihatkan betapa rapuhnya kepercayaan sosial kita saat ini.

Fenomena ini juga berhubungan dengan data tingkat kepercayaan sosial masyarakat Indonesia. Survei World Values Survey (2020) menunjukkan bahwa hanya sekitar 23% orang Indonesia yang percaya kepada orang asing. 

Angka ini termasuk rendah dibanding beberapa negara lain di Asia. Data tersebut memberi gambaran bahwa kebaikan di ruang publik memang berhadapan dengan tembok ketidakpercayaan yang tebal.

Semakin kita menyadari kenyataan ini, semakin jelas bahwa random act of kindness kini membutuhkan strategi berbeda. Tidak cukup hanya bermodalkan niat baik, tetapi juga harus peka terhadap situasi dan kondisi.

Antara Tulus dan Hati-Hati

Dalam konteks sekarang, melakukan kebaikan memang tidak bisa lepas dari perhitungan. Niat tulus tetap harus diiringi dengan kehati-hatian. Kita perlu membaca situasi sebelum bertindak, agar kebaikan yang kita lakukan benar-benar sampai kepada penerima tanpa menimbulkan salah tafsir.

Misalnya, ketika ingin menawarkan kursi di KRL, sebaiknya lakukan dengan bahasa tubuh yang sopan. Tidak perlu memaksa atau menunjuk langsung, cukup berdiri dan memberi isyarat singkat. Dengan begitu, penerima bisa merasa lebih nyaman dan bebas memilih apakah ia ingin menerima atau menolak.

Selain itu, kita juga bisa memilih bentuk kebaikan yang lebih "aman." Contohnya, membantu menahan pintu agar penumpang lain bisa masuk, atau memberikan informasi arah jalur yang benar. Tindakan-tindakan seperti ini lebih jelas manfaatnya, sehingga kecil kemungkinan disalahpahami.

Di sisi lain, penting juga untuk memahami bahwa tidak semua orang siap menerima bantuan. Ada yang merasa tidak nyaman karena terbiasa mandiri, ada pula yang takut karena pengalaman buruk di masa lalu. Dalam kondisi seperti ini, menahan diri justru bisa menjadi bentuk kebaikan, karena kita menghormati batas pribadi orang lain.

Perlu disadari pula bahwa kebaikan tidak selalu harus "nampak besar." Kadang, sekadar tersenyum kepada orang asing atau memberi ruang lebih di kereta sudah cukup. Menurut studi yang dilakukan oleh University of California (Lyubomirsky, 2019), bahkan kebaikan sekecil itu mampu meningkatkan suasana hati penerima secara signifikan.

Dengan demikian, tantangan kita saat ini bukan hanya bagaimana tetap menebar kebaikan, tetapi juga bagaimana melakukannya dengan bijak. Random act of kindness harus menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, tanpa kehilangan esensi ketulusannya.

Kesadaran ini penting agar kebaikan tidak punah, tetapi tetap hidup dalam bentuk yang lebih relevan dengan zaman. Jika dulu kebaikan dilakukan tanpa banyak pikir, kini kebaikan harus berjalan seiring dengan sensitivitas sosial.

Mungkin, inilah evolusi kebaikan yang sedang kita jalani. Bukan berarti orang-orang sekarang kurang tulus, tetapi situasi sosial yang lebih kompleks membuat kebaikan harus "berstrategi."

Penutup

Pada akhirnya, random act of kindness tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial kita. Dunia yang semakin keras justru membutuhkan lebih banyak kebaikan, meski dengan risiko salah paham. Tanpa kebaikan, ruang publik hanya akan dipenuhi wajah-wajah lelah tanpa kehangatan.

Memang, kita tidak bisa lagi melakukan kebaikan dengan sebebas dulu. Ada aturan tak tertulis yang harus dipatuhi, ada kehati-hatian yang harus dijaga. Tetapi, itu tidak seharusnya membuat kita berhenti. Justru, tantangan ini mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam menolong.

Kebaikan yang adaptif adalah kebaikan yang tetap tulus, tetapi peka terhadap kondisi sekitar. Dengan begitu, kita bisa menjaga agar niat baik tidak berubah jadi bumerang.

Barangkali, itulah makna sejati dari random act of kindness di era modern: bukan sekadar memberi, tetapi juga mengerti. Mengerti situasi, mengerti batas, dan mengerti cara agar kebaikan benar-benar sampai.

Mari kita tetap menebar kebaikan, sekecil apa pun, dengan hati-hati namun tetap tulus. Karena di tengah dunia yang serba curiga, kebaikanlah yang justru bisa mengembalikan rasa percaya kita kepada sesama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun