Fenomena ini menarik karena memperlihatkan paradoks. Satu sisi, kita tahu bahwa kebaikan itu penting. Di sisi lain, kita juga takut jika kebaikan itu berujung salah paham. Konteks sosial yang berubah membuat definisi "tulus" tidak lagi sesederhana dulu.
Maka, penting untuk memahami bagaimana masyarakat memaknai RAK di era modern. Tidak cukup hanya melihat dari sisi moralitas, tetapi juga perlu melihat dari sisi kepercayaan sosial yang semakin rapuh.
Zaman Dulu: Kebaikan yang Disambut Hangat
Jika kita melihat ke belakang, kebaikan kecil di ruang publik dulu hampir selalu mendapat sambutan positif. Di kampung-kampung, anak-anak muda biasa membantu tetangga tanpa harus diminta.Â
Membawakan belanjaan orang tua, membantu mendorong sepeda, atau sekadar menyapa dengan ramah, semuanya terasa natural dan tulus. Tidak ada rasa curiga yang berlebihan, karena kehidupan sosial saat itu dibangun di atas pondasi kepercayaan.
Transportasi umum juga memiliki atmosfer berbeda. Di era 80-90an, meskipun fasilitas masih terbatas, interaksi antarmanusia terasa lebih cair. Menawarkan kursi kepada orang tua dianggap kewajaran, bukan sesuatu yang aneh. Jika ada orang yang membantu, orang lain akan langsung mengucapkan terima kasih tanpa pikir panjang. Nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan masih begitu kuat.
Bahkan, tindakan sederhana seperti meminjamkan payung atau berbagi makanan sering dianggap hal yang biasa. Dalam banyak keluarga, anak-anak diajarkan untuk "selalu berbuat baik kepada siapa pun," dan nasihat itu dijalankan tanpa harus takut disalahpahami. Kebaikan dipandang sebagai sesuatu yang murni, bukan strategi, bukan pula manipulasi.
Suasana seperti ini menciptakan ruang sosial yang lebih ramah. Orang tidak perlu berpikir dua kali untuk membantu, dan penerima tidak perlu merasa ragu atau takut. Ada keyakinan bersama bahwa niat baik tidak membawa konsekuensi buruk. Sayangnya, kondisi semacam ini mulai bergeser seiring perkembangan zaman.
Zaman Sekarang: Risiko dan Salah Paham
Kini, melakukan kebaikan tidak selalu sesederhana dulu. Perubahan sosial, urbanisasi, dan maraknya kasus kriminal membuat masyarakat lebih waspada. Niat baik yang dulu dianggap normal, sekarang bisa dicurigai sebagai modus. Membantu orang asing, apalagi lawan jenis, sering kali menimbulkan persepsi berbeda. Ada rasa takut jika tindakan itu dianggap melecehkan atau memiliki maksud lain.
Kasus-kasus di media sosial memperlihatkan hal ini. Misalnya, ada cerita penumpang kereta yang berniat menawarkan kursi, tetapi justru ditolak dengan kasar karena penerima merasa "tidak butuh dikasihani."Â
Ada pula kasus di mana seseorang menolong anak kecil yang hampir jatuh, tetapi malah dipandang seolah ingin berbuat jahat. Hal-hal semacam ini menciptakan trauma sosial bagi mereka yang sebenarnya berniat baik.
Lebih jauh lagi, era digital menambah lapisan risiko. Niat baik bisa direkam, diunggah, lalu dipelintir di media sosial. Sebuah video singkat bisa mengubah persepsi publik hanya dalam hitungan menit. Dalam kondisi ini, tindakan kecil yang sebenarnya tulus bisa berubah menjadi bahan cibiran atau bahkan viral dengan narasi yang salah.