Suatu malam
Saat aku duduk dipinggir jalan menunggu bis perjalanan Kediri - Surabaya
Disampingku pun duduk seorang wanita dengan kacamata sabyannya.
"Kamu cantik, jika kau bisa tersenyum aku akan jatuh hati padamu"
"Heh mas, kamu jangan kurang ajar ya"
Spontan gertakan wanita disampingku membuat imajinasi puisi tentang bunga yang kupandang di ujung sebrang buyar.
Dan juga es teh bungkus ditanganku tumpah.
Melihat itu, wanita yang garang menjadi lembut
"Ih mas sayang"
"Aku juga" (jawabku)
"iih dasar cowok kurang ajar, gak tau diri, gak tau sopan santun ya" crewet ketusnya kembali muncul memarahiku
Aku yang sedari tadi mengalah karena memang aku tak salah, maka aku angkat bicara
"Mbak, saya ini salah apa? Saya tak pernah menyapa mbaknya kok tiba-tiba mbak marah? Saya berpuisi tentang bunga di seberang sana, mbak malah memaki kurang ajar. Saya menyayangkan es saya yang jatuh, sampean bilang gak tau diri. Saya ini salah apa mbak?"
Wanita yang akhirnya kutau bahwa wanita ini penyuka puisi, maka dia berubah lembut nan santun
"Oooh, masnya ini penulis puisi. Coba dong mas bikin puisi khusus buat aku"
Maka kutulis puisi singkat ini
"di pertigaan itu bus-bus berhenti
sopirnya mendengus karena matahari
tak juga teduh, membakar segala mimpi
untuk main hujan-hujanan
berbasah kuyup dengan sisa-sisa embun
Â
di pertigaan itu ada mata yang diam-diam menatap
tak peduli tentang cuaca atau jarum jam
yang mengusir mimpi jadi debu
memburu rindu dengan tiga ratus detik"
"Ih masnya romantis, namaku Nelly, dan kamu penyair, yuk mas jadian"
Aku yang bingung karena kebringasan dan mubazir kalo di tolak. Akhirnya aku menganggu tanda iya.
Dan dari sinilah kisah keromantisanku pada kekasihku yang setiap hari harus mengirimkan satu puisi untuknya.
Kediri, 8 September 2020
Karya: Abdul Azis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI