Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Toleransi Minoritas, Mencintai Hidup Terbatas

10 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 10 Januari 2019   07:52 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja menyambut malam ketika Gabriel menyudahi tugasnya. Ia melangkah menyusuri tepi pantai. Tubuhnya penat, namun hatinya bahagia. Bahagia bisa melayani dan mengasihi.

Baru beberapa langkah, rasa sakit menusuk-nusuk punggungnya. Gabriel membungkuk, menahan sakit. Pantai itu sepi, sempurna sepi. Hanya Allah, para malaikat, pasir putih, dan laut yang menyaksikan ketegaran perawat misterius berhati malaikat itu.

Strugle of life. Jangan kira hanya Abi Assegaf yang merasakannya. Susah payah Gabriel menegakkan kembali tubuhnya dan memaksakan diri terus berjalan. Ia harus bisa...harus.

Ingatannya melayang pada kenekatan bermain basket pagi tadi. Seakan dihitung mundur, ia juga teringat momen beberapa waktu lalu. Saat ketidakberdayaannya memberikan darah untuk Abi Assegaf.

Sepasang mata sipit mengawasi sembunyi-sembunyi dari balik pekatnya malam. Sosok pemilik mata itu mengikuti Gabriel sejak tadi. Ia rasakan ada yang tidak beres pada perawat kesayangan Abinya itu.

Benar asumsinya. Mengapa Gabriel menahan sakit? Adica ingin menolongnya, atau setidaknya mengantarnya pulang. Tapi...

Sebuah mobil putih meluncur ke tepi pantai. Berhenti tepat di samping Gabriel, pintunya terbuka.

"El..." panggil sosok pengemudi, wajahnya tak kelihatan jelas.

Ia turun, lalu memapah si perawat tampan. Pintu mobil menutup.

Adica tak sempat mengejar. Mobil itu keburu pergi. Siapakah Gabriel sebenarnya?

"Aku sehat..." Gabriel bergumam. Suaranya melemah, lalu ia terbatuk beberapa kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun