Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dongeng Munir

23 April 2019   09:27 Diperbarui: 23 April 2019   09:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia menggeleng memperlihatkan koran di tangannya pada saya. "Tokoh ini adalah aktivis HAM," jari telunjuknya mengarah pada gambar laki-laki memiliki kumis di koran itu. Saya belum sempat mengamati tulisan-tulisan yang ada padanya, kakak buru-buru menyingkirkan koran itu dari saya. "Kamu masih bau kencur untuk mengenal siapa dia. Ada waktunya nanti."

***

Tahun 2010 saya  mulai remaja, duduk di bangku sekolah menengah pertama. Adalah saat di mana ingatan saya digiring kembali ke masa sebelumnya, yakni kepada satu nama; bukan Sarita melainkan Munir. Bermula pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Guru sedang semangat-semangatnya membahas pada kami materi tentang HAM. Kata yang sudah lama saya dengar baru betul-betul bisa meresapi dengan baik maknanya ketika itu.

Dan kesempatan itulah saya sedikit tahu apa yang dimaksud dengan HAM. Guru sempat menyebut nama Munir pada pokok pembahasan contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini.

Selain Munir, nama lain disebut adalah Marsinah dan tragedi trisakti 1998. Tetapi guru tidak terlalu menjelaskan secara detil lantaran keterbatasan waktu. Dan dia buruburu beralih ke topik pembahasan lain. Sialnya saya tidak berani menanyakan lebih jauh siapa sebenarnya Munir itu? Tidak ada usaha saya untuk mencari tahu sendiri.

***

Tahun 2013, saya masih remaja, duduk di bangku sekolah menengah atas. Nama Munir kembali bertemu saya pada pelajaran yang sama yakni pendidikan kewarganegaraan dan pembahasan yang sama pada beberapa tahun sebelumnya. Yang membedakan pada saat itu, guru kami menjelaskan dengan baik kasus Munir. Terbukalah pemahaman saya tentang tokoh itu. Saya mendalami kasus yang terjadi padanya setelah pertemuan di kelas berakhir.

Di ruang perpustakaan saya mencari buku yang membahas tentang Munir. Khusyuk membacanya. Saat terhubung ke intenet saya pun keranjingan mengikuti artikel yang menyangkut tentang Munir. Dan belum ada keadilan yang sampai padanya. Padahal sudah jauh meninggalkan 2004, tahun kematian Munir. Perlahan-lahan saya mulai memahami dongeng Sarita. Kesatria Munir mati pada saat perjalanannya mencari kitab kemanusiaan di tangan Sengkuni. Dan siapa Sengkuni itu?

Sarita memang sudah jauh meninggalkan saya pada waktu itu. Anak sebelia dia, mampu mengarang dongeng Munir menggunakan simbol-simbol bercermin pada kasus Munir yang sebenarnya. Menyesalnya saya, tidak pernah meminta pada Sarita untuk memperdengarkan pada saya kelanjutan dongengnya yang sempat dibawakan di depan kelas.

Di mana Sarita? Saya tidak tahu lagi, Saya tidak pernah lagi bertemu sejak tahun 2006. Kami duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sarita pindah sekolah. Tahun 2013 setelah memiliki pemahaman tentang Munir betapa saya sangat merindukan Sarita. Ingin mendengar kelanjutan daripada dongeng Munirnya itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun