"Apa yang dibilang guru padamu?" saya bertanya.
"Sabtu depan, saya tidak boleh membawakan dongeng seperti tadi. Kata guru, tidak cocok dengan dunia kita."
Saya penasaran dengan dongeng karangan Sarita. Ingin bertanya lebih jauh padanya tentang itu, tapi saya urungkan. Lantaran waktu tidak cukup bagi kami berpanjang lebar.
Saya sempat bertanya pada bapak saya, "Apakah Bapak tahu kesatria yang bernama Munir?" saya menanyakan itu, semata-mata ragu bahwa benarkah Sarita yang membuat sendiri dongeng itu. Jangan-jangan dia menjiplaknya dari suatu riwayat hanya karena ingin diakui lebih unggul daripada saya.Â
"Munir?" Bapak memandangku lekat-lekat.Â
"Kesatria Munir yang dibunuh Sengkuni pada perjalanan mencari kitab kemanusiaan," kata saya semangat.Â
"Munir yang Bapak tahu memang kesatria, tetapi bukan Sengkuni yang membunuhnya. Barangkali Munir yang kamu maksud itu berbeda. Kalau Munir Bapak, seorang aktivis HAM. Mengapa pula kamu bertanya begitu?" saya tidak menjawab apa-apa.
Saya segera memasuki kamar kakak. Di atas meja belajarnya saya membuka kamus. Saya cari kata aktivis agak bersusah payah saya pun menemukannya.Â
Aktivis; 1. n orang (terutama anggota oraganisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. 2. n Pol seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya).
Setelah itu saya mencari kata HAM maka saya temukanlah begini; HAM; n kp hak asasi manusia.
Aksi saya dipergoki oleh kakak. Sebelum dia melontarkan pertanyaan pada saya lantaran telah lancang mengotak-atik kamus tanpa seizinnya, terlebih dahulu saya melontarkan pertanyaan begini padanya; "Apakah kakak Aktivits HAM?"Â